Rabu, 24 Juni 2009

SPI

WTC meledak itu bukan karena perbuatan teroris , atau kelompok islam fundamental.
bisa sangat jadi itu adalah kerjaan agen agen CIA yang tidak bertanggung jawab.
ini dilakukan untuk memojokkan dunia islam.
apalagi bush adalah manusia yang hanya ingin menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, buktinya bush senior kalah perang dan di balas oleh bush junior.
sebenarnya yang teroris itu adalah amerika. katanya polisi dunia…
kok jadi teroris dunia.
obama juga sama aja dengan bush, walau dia sekolah di indonesia, itu cuma numpang lewat aja.
Media AS Sebut Israel Terkait Serangan 11 September
Ramadhian Fadillah

Jakarta - Isu bahwa Israel terlibat dalam serangan 11 September 2001 lalu memang sudah lama muncul ke publik. Namun, baru-baru ini, media AS, New York Times (NYT), berani mengaitkan Israel dalam serangan yang membuat luluh lantak gedung World Trade Center (WTC) itu.

NYT mengaitkan adanya keterlibatan Israel karena terungkapnya sebuah nama Ali al Jarrah. Ali adalah seorang agen Mossad, dinas rahasia Israel. Nah, Ali ini merupakan sepupu Ziad al-Jarrah, yang merupakan salah satu pembajak pesawat dalam tragedi itu. Tulisan NYT ini juga dibahas oleh American Free Press.

Namun, tidak dijelaskan secara jelas bagaimana hubungan Ali Al Jarrah dengan Ziad al Jarrah. Apakah karena saudara sepupu, sehingga Ziad juga pasti menjadi agen Mossad juga? Tidak jelas.

Namun, NYT menulis ada kemungkinan Ziad al-Jarrah direkrut Ali al Jarrah sebagai agen Mossad. Bisa jadi Ali menginginkan kader yang lebih muda untuk Mossad. NYT juga menulis bahwa antara Ali dan Ziad mungkin tidak mengenal satu sama lain.

Ali al-Jarrah telah bekerja sebagai agen Mossad selama 25 tahun. Pria muslim dari Libanon ini mengkhianati negaranya sendiri. Ia bertugas untuk mengumpulkan data intelijen tentang kelompok-kelompok perlawanan Palestina dan Hizbullah. .

Jika kemungkinan Ziad juga agen Mossad, berarti bukan pertama kali Israel merekrut orang Muslim untuk bekerja untuk dinas rahasia. Pada serangan bom pertama terhadap WTC tahun 1993 lalu, Israel juga merekrut Ahmad Ajaj, seorang warga muslim dari Tepi Barat Palestina.

Ajaj disebut-sebut merupakan pentolan Intifada. Tetapi faktanya dia tidak pernah terlibat dalam gerakan Intifada, Hamas atau gerakan perlawanan Palestina lainnya.

Israel memang sudah dikaitkan dengan serangan 11 September sejak dulu. Namun, belum ada fakta yang kuat mengenai hal ini. Indikasi yang pernah disebut adalah tidak satu pun dari 3.000 pegawai Yahudi masuk kerja pada hari itu. Tidak mungkin 3.000 orang sakit atau cuti secara bersamaan, tanpa ada sesuatu di baliknya. Namun, data ini juga telah diragukan kebenarannya.

Dugaan Keterlibatan Israel dalam Serangan WTC AS Bukan Hal Baru

Jakarta - Media Amerika Serikat (AS) New York Times menyebut dugaan keterlibatan Israel dalam serangan gedung World Trade Center (WTC) AS pada 11 September 2001 lalu. Tudingan ini dianggap bukan hal yang baru. Sebab, waktu awal serangan ini terjadi banyak pihak yang juga menuding hal yang sama.

Keterlibatan Israel tersebut berawal karena terungkapnya sebuah nama Ali al Jarrah. Ali adalah seorang agen Mossad, dinas rahasia Israel. Ali ini adalah sepupu Ziad al-Jarrah, yang merupakan salah satu pembajak pesawat dalam tragedi itu.

Sejauh manakah kebenaran dugaan keterlibatan Israel tersebut? Berikut wawancara detikcom dengan pengamat politik Timur Tengah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hamdan Basyar, Rabu (11/3/2009). Terorisme bukan gejala baru. Gerakan terorisme mempunyai ikatan historis dengan
berbagai negara di dunia. Karena itu, untuk membahas gerakan terorisme di
Indonesia, tidak bisa lepas dari dua hal. Pertama, kondisi objektif politik
internasional. Kedua, kondisi nasional bangsa Indonesia. Kondisi objektif
politik internasional, dalam hal ini, adalah setelah berakhirnya perang dingin
antara AS dan Uni Soviet, yang dimenangkan AS. Samuel P Huntington dari
Universitas Harvard, AS, mengajukan teori bahwa setelah berakhirnya perang
dingin, akan terjadi konflik atau benturan hebat antarperadaban.

Menurut Huntington, dari tujuh kelompok peradaban di dunia (Barat, Konghucu,
Islam, Hindu, Jepang, Afrika, dan Amerika Latin), hanya akan terdapat tiga
kekuatan yang saling berhadapan, yaitu Barat, Konghucu, dan Islam. Menurut dia,
Konghucu dan Islam akan berkoalisi melawan Barat.

Tampaknya, setelah Uni Soviet hancur yang diikuti pernyataan Huntington,
kondisi politik dunia memanas seperti kondisi konflik perang dingin. Tapi,
dewasa ini, hal itu terjadi antara AS dengan negara-negara yang mayoritas
penduduknya Muslim --yang berakar dari apa yang disebut sebagai ''benturan
antarperadaban''.
Beberapa fakta
Faktanya, setelah WTC hancur, Afghanistan diobrak abrik, Irak diserbu, Korea
Utara dipaksa bertekuk lutut, rakyat Palestina dibantai Israel, jilbab dilarang
di sekolah-sekolah negeri di Prancis, dan studi-studi Islam di Amerika dan
Eropa dicurigai. Semua itu adalah buah atau akibatnya. Bila dicermati, akarnya
adalah konflik antarnilai-nilai yang diyakini peradaban-peradaban tersebut. Di
samping itu, standar ganda AS terhadap negara-negara berkembang --khususnya
negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim-- dalam menerapkan demokrasi
dan HAM, menimbulkan perasaan tidak adil. Hal itu menimbulkan dendam dan ingin
membalas dengan berbagai cara, sesuai dengan kemampuannya --termasuk dengan
melakukan aksi-aksi terorisme. Demikian juga dampak globalisasi dan kemajuan
teknologi di negara-negara maju yang hasilnya mengalir ke seluruh pelosok
dunia. Di mana negara-negara penerima --yang kebanyakan negara-negara
berkembang-- belum tentu siap menerima.

Apalagi, hasil kemajuan teknologi yang diproduksi oleh negara-negara yang
tergabung dalam International Monetery Fund (IMF), World Bank, dan World Trade
Center (WTO) dan lain-lain tersebut, ditolak oleh sebagian kelompok masyarakat
internasional. Mereka menilai apa yang diberikan dengan dalih bantuan itu, pada
hakikatnya akan menimbulkan kesenjangan dan melebarkan jurang antara golongan
kaya-miskin, serta ketergantungan negara miskin terhadap negara kaya.

Situasi demikian pada gilirannya menimbulkan ketidakpuasan dan rasa
ketidakadilan yang menjurus pada munculnya gerakan terorisme menentang
kebijakan negara-negara maju yang akan memberi bantuan kepada negara-negara
berkembang.

Untuk yang kedua, yaitu kondisi objektif politik nasional Indonesia, tidak
terlepas dari perjalanan sejarah bangsa. Terutama hubungan antara Islam dan
Pancasila sebagai dasar negara --yang dalam sejarah politik Indonesia mengalami
pasang surut dan diwarnai ketegangan, bahkan mengarah kepada konflik bersenjata
sehingga mengancam integrasi bangsa. Kadang-kadang terjadi konflik dan pada
saat yang lain terjadi konsensus --menurut istilah Ismail-- hubungan antara
tokoh politik nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam.
Merespons terorisme yang menyerang WTC di New York dan Pentagon di Washington DC, Presiden Amerika Serikat (AS), George Walker Bush, spontan menyatakan ''perang salib''. Pernyataan Bush mendapatkan protes keras dari tokoh-tokoh internasional, seperti mantan perdana menteri Malaysia, Mahathir Mohammad, dan Presiden Pakistan, Pervez Musharaf. Mungkin Bush tidak sengaja. Atau ia berpendapat bahwa perang terhadap terorisme itu merupakan perang melawan umat Islam, seperti halnya pada perang salib. Dengan alasan bahwa pelaku penyerangan WTC seluruhnya berasal dari negara-negara Arab dan beragama Islam. This Crusade, this war on terrorism, is going to take a along time(Perang salib ini, perang melawan terorisme , akan memakan waktu yang lama) (Bush, BBC, 16/sept/2001).Perang melawan terorisme yang disebut Bush sebagai perang salib masih tetap menjadi kebijakan politik luar negeri AS ke depan. Hal itu tampak jelas dalam strategi pertahanan baru yang dirancang Departemen Pertahanan AS tahun 2008. Dalam strategi baru itu ditekankan, selain melakukan operasi-operasi militer, juga perlu dilakukan inisiatif-inisiatif dengan menggunakan “kekuatan yang lebih lunak” untuk meredam militansi kalangan Islamis. Inisiatif-inisiatif itu bisa dilakukan di sektor ekonomi, politik dan sosial. Sejak awal perang Bush telah mengisyaratkan ini dengan menyebut perang melawan terorisme adalah Crusade (Perang Salib). Perang ini pun menjadikan Islam sebagai monster dan iblis. Tampak dari istilah-istilah berkonotasi buruk yang disandingkan dengan Islam oleh Bush untuk menamakan musuhnya seperti istilah ‘Islam fasis’, ‘Islam radikal’, atau ‘Islam militan’.
Bush dan sekutunya pun menjadikan konsepsi Islam seperti syariah, jihad dan Khilafah sebagai musuh dalam perang ini. Jihad yang demikian mulia dalam pandangan Islam pun dikonotasikan jelek dan merusak. Bush dan sekutunya juga menuduh teroris kaum Muslim yang bercita-cita menerapkan syariah Islam dan Khilafah.
Rumsfeld pun mengatakan hal yang sama dengan mengatakan di Irak akan berdiri Khilafah Islam kalau tentara AS ditarik dari sana (Washington Post, 5/12/2005). Blair sekutu dekat Bush juga lebih jelas lagi dengan menyebut empat ciri ideologi setan para teroris: anti Israel; anti nilai-nilai Barat; ingin menerapkan syariah Islam, dan mempersatukan umat Islam dengan Khilafah (BBCNews, 16/7/2005).
Apalagi sebagian besar nama orang dan data organisasi yang dianggap teroris adalah orang Islam dan organisasi dengan nama Islam. Tak pelak, korban yang paling besar justru adalah umat Islam. Perang Irak dan Afganistan telah menelan korban ratusan ribu kaum Muslim. Bandingkan dengan korban Tragedi WTC yang berjumlah 3000 orang.
Adalah semakin jelas, perang melawan terorisme bukan perang bersifat universal untuk kepentingan dunia, perang ini tidak lain adalah perang ala AS untuk kepentingan negara imperialis itu. Dan yang menjadi sasarannya adalah umat Islam dan ajaran Islam. Dalam front kalau militer yang paling banyak korbannya adalah umat Islam. Sementara dalam front pemikiran (ideologi) yang menjadi sasaran adalah ajaran Islam yang kaffah dan ideologis . Karena itu, tidak ada jalan lain untuk membendung perang ini kecuali dengan Khilafah Islam. Negara super power inilah yang akan mampu secara berimbang menghadapi negara arogan seperti AS. (Farid/Suara Islam edisi 50)
2.Pemikiran Ibnu Rusyd terlihat ketika terjadi polemik antara ia dengan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. Ketidaksepakatan Al-Ghazali terhadap pemikiran filsafat Ibnu Rusyd (hingga mengkafirkan) yang dituangkan dalam bentuk tulisan berjudul “tahafut al-tahafut" (kerancuan dari kerancuan).
Menurut penilaian Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah mengisi bukunya tahafut falasifah dengan pikiran-pikiran sufistik, dan kata-katanya tidak sampai pada tingkat keyakinan serta tidak mencerminkan hasil pemahaman terhadap filsafat itu sendiri. Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pikiran-pikiran filusof-filusof dengan cara demikian, tidak pantas baginya, sebab tidak lepas dari dua hal. Pertama, ia sebenarnya memahami pemikiran-pemikiran tersebut, tetapi tidak disebutkan disini secara benar-benar dan ini adalah perbuatan orang-orang buruk. Kedua, ia memang tidak memahami secara benar-benar, dan dengan demikian maka ia membicarakan sesuatu yang tidak dikuasainya, dan ini adalah perbuatan orang-orang bodoh.
Menurut Ibnu Rusyd, kedua kemungkinan tersebut sebenarnya tidak terdapat dalam diri Al-Ghazali. Akan tetapi “kuda balab kadang-kadang terantuk” demikian kata pepatah. Dan bagi Al-Ghazali, terantuknya itu ialah karena ia menulis buku tahafut-nya tersebut. Boleh jadi penulisannya itu dilakukan karena melayani selera massa dan lingkungannya.
Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah kebangkitan kembali manusia setelah meninggal. Menurut Ibnu Rusyd, pembangkitan yang dimaksud kaum filsuf adalah pembangkitan Ruhiyah bukan Jasmaniyah. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Bagi Ibnu Rusyd dan juga filsuf lainnya, yang bagi manusia adalah jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedangkan menurut Al-Ghazali, kebangkitan kembali manusia tak hanya secara ruh, tapi juga Jasmaniyah.
Ibnu Rusyd juga mengajarkan bagaimana cara membangun rules of dialogue , dalam kaitannya memahami orang lain di luar kita. Teori ini didasarkan pada tiga prinsip epistemologi. Pertama, keharusan untuk memahami yang lain dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksimotik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu-ilmu Yunani.
Prinsip kedua, dalam kaitan relasi kita dengan Barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan yang subur antara dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tetapi terjadi harmoni diantara keduanya. Harmoni yang dimaksud tidak harus sama dan identik. Karena itu hak untuk berbeda harus dihargai.
Prinsip ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Ibnu Rusyd menolak cara-cara Al-Ghazali menguliti filosuf tidak dengan tujuan mencari kebenaran, tetapi untuk mempertanyakan tesis-tesis mereka. Dan prilaku ini menurut Ibnu Rusyd tidak layak dilakukan oleh orang terpelajar, karena tujuan orang terpelajar adalah hanya untuk mencari kebenaran bukan menyebarkan keragu-raguan. Kesultanan Utsmaniyah (1299–1923), atau dikenal juga dengan sebutan Kekaisaran Turki Ottoman, (Turki Utsmaniyah Lama: دولت عليه عثمانيه Devlet-i ʿĀliye-yi ʿOsmāniyye, Utsmaniyah Akhir dan Turki Modern: Osmanlı Devleti atau Osmanlı İmparatorluğu) adalah negara multi-etnis dan multi-religius. Negara ini diteruskan oleh Republik Turki yang diproklamirkan pada 29 Oktober 1923.
Negara ini didirikan oleh Bani Utsman, yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 - 1923) dipimpin oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara kecil.
Kesultanan ini menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi. Dengan Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya, kesultanan ini dianggap sebagai penerus dari kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Kekaisaran Romawi dan Bizantium. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat.
Kekuatan Kesultanan Usmaniyah terkikis secara perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad 20. Setelah Perang Dunia I berakhir, pemerintahan Utsmaniyah yang menerima kekalahan dalam perang tersebut, mengalami kemunduran di bidang ekonomi.
Pada pertengahan abad ke-13, Kekaisaran Bizantium yang melemah telah kehilangan beberapa kekuasaanya oleh beberapa kabilah. Salah satu kabilah ini berada daerah di Eskişehir, bagian barat Anatolia, yang dipimpin oleh Osman I, anak dari Ertuğrul, yang kemudian mendirikan Kesultanan Utsmaniyah. Menurut cerita tradisi, ketika Ertuğrul bermigrasi ke Asia Minor beserta dengan empat ratus pasukan kuda, beliau berpartisipasi dalam perang antara dua kubu pihak (Kekaisaran Romawi dan Kesultanan Seljuk). Ertuğrul bersekutu dengan pihak Kesultanan Seljuk yang kalah pada saat itu dan kemudian membalikkan keadaaan memenangkan perang. Atas jasa beliau, Sultan Seljuk menghadiahi sebuah wilayah di Eskişehir.[1] Sepeninggal Ertuğrul pada tahun 1281, Osman I menjadi pemimpin dan tahun 1299 mendirikan Kesultanan Utsmaniyah.
Osman I kemudian memperluas wilayahnya sampai ke batas wilayah Kekaisaran Bizantium. Ia memindahkan ibukota kesultanan ke Bursa, dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan awal politik kesultanan tersebut. Diberi nama dengan nama panggilan "kara" (Bahasa Turki untuk hitam) atas keberaniannya,[2] Osman I disukai sebagai pemimpin yang kuat dan dinamik bahkan lama setelah beliau meninggal dunia, sebagai buktinya terdapat istilah di Bahasa Turki "Semoga dia sebaik Osman". Reputasi beliau menjadi lebih harum juga disebabkan oleh adanya cerita lama dari abad pertengahan Turki yang dikenal dengan nama Mimpi Osman, sebuah mitos yang mana Osman diinspirasikan untuk menaklukkan berbagai wilayah yang menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.
Pada periode ini terlihat terbentuknya pemerintahan formal Utsmaniyah, yang bentuk institusi tersebut tidak berubah selama empat abad. Pemerintahan Utsmaniyah mengembangkan suatu sistem yang dikenal dengan nama Millet (berasal dari Bahasa Arab millah ملة), yang mana kelompok agama dan suku minoritas dapat mengurus masalah mereka sendiri tanpa intervensi dan kontrol yang banyak dari pemerintah pusat.
Setelah Osman I meninggal, kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah kemudian merambah sampai ke bagian Timur Mediterania dan Balkan. Setelah kekalahan di Pertempuran Plocnik, kemenangan kesultanan Utsmaniyah di Perang Kosovo secara efektif mengakhiri kekuasaan Kerajaan Serbia di wilayah tersebut dan memberikan jalan bagi Kesultanan Utsmaniyah menyebarkan kekuasaannya ke Eropa. Kesultanan ini kemudian mengontrol hampir seluruh wilayah kekuasaan Bizantium terdahulu. Wilayah Kekaisaran Bizantium di Yunani luput dari kekuasaan kesultanan berkat serangan Timur Lenk ke Anatolia tahun 1402, menjadikan Sultan Bayezid I sebagai tahanan.
Sepeninggal Timur Lenk, Mehmed II melakukan perombakan struktur kesultanan dan militer, dan menunjukkan keberhasilannya dengan menaklukkan Kota Konstantinopel pada tanggal 29 Mei 1453 pada usia 21 tahun. Kota tersebut menjadi ibukota baru Kesultanan Utsmaniyah. Sebelum Mehmed II terbunuh, pasukan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Korsika, Sardinia, dan Sisilia. Namun sepeninggalnya, rencana untuk menaklukkan Italia dibatalkan.

Mehmed II menaklukkan kota Konstantinopel yang menjadi ibukota baru kesultanan tahun Perkembangan Kerajaan (1453–1683)
Periode ini bisa dibagi menjadi dua masa: Masa perluasan wilayah dan perkembangan ekonomi dan kebudayaan (sampai tahun 1566); dan masa stagnasi militer dan politik
Kesultanan Utsmaniyah 1299–1683
Perluasan Wilayah dan Puncak Kekuasaan (1453–1566)

Pertempuran Zonchio pada tahun 1499 adalah perang laut pertama yang menggunakan meriam sebagai senjata di kapal perang, menandakan kebangkitan angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah
Penaklukkan Konstantinopel oleh Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1453 mengukuhkan status kesultanan tersebut sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Pada masa ini Kesultanan Utsmaniyah memasuki periode penaklukkan dan perluasan wilayah, memperluas wilayahnya sampai ke Eropa dan Afrika Utara; di bidang kelautan, angkatan laut Utsmaniyah mengukuhkan kesultanan sebagai kekuatan dagang yang kuat. Perekonomian kesultanan juga mengalami kemajuan berkat kontrol wilayah jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.
Kesultanan ini memasuki zaman kejayaannya di bawah beberapa sultan. Sultan Selim I (1512-1520) secara dramatis memperluas batas wilayah kesultanan dengan mengalahkan Shah Dinasti Safavid dari Persia, Ismail I, di Perang Chaldiran. Selim I juga memperluas kekuasaan sampai ke Mesir dan menempatkan keberadaan kapal-kapal kesultanan di Laut Merah.
Serangan ke Wina tahun 1529
Pewaris takhta Selim, Suleiman yang Agung (1520-15660 melanjutkan ekspansi Selim. Setelah menaklukkan Beograd tahun 1521, Suleiman menaklukkan Kerajaan Hongaria dan beberapa wilayah di Eropa Tengah. Ia kemudian melakukan serangan ke Kota Wina tahun 1529, namun gagal menaklukkan kota tersebut setelah musim dingin yang lebih awal memaksa pasukannya untuk mundur. Di sebelah timur, Kesultanan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Baghdad dari Persia tahun 1535, mendapatkan kontrol wilayah Mesopotamia dan Teluk Persia.
Di bawah pemerintahan Selim dan Suleiman, angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekuatan dominan, mengontrol sebagian besar Laut Mediterania. Beberapa kemenangan besar lainnya meliputi penaklukkan Tunis dan Aljazair dari Spanyol; Evakuasi umat Muslim dan Yahudi dari Spanyol ke wilayah Kesultanan Utsmaniyah sewaktu inkuisisi Spanyol; dan penaklukkan Nice dari Kekaisaran Suci Romawi tahun 1543. Penaklukkan terakhir terjadi atas nama Prancis sebagai pasukan gabungan dengan Raja Prancis Francis I dan Barbarossa. Prancis dan Kesultanan Utsmaniyah, bersatu berdasarkan kepentingan bersama atas kekuasaan Habsburg di selatan dan tengah Eropa, menjadi sekutu yang kuat pada masa periode ini. Selain kerjasama militer, kerjasama ekonomi juga terjadi antar Prancis dan Kesultanan Utsmaniyah. Sultan memberikan Prancis hak untuk melakukan dagang dengan kesultanan tanpa dikenai pajak. Pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah dianggap sebagai bagian dari politik Eropa, dan bersekutu dengan Prancis, Inggris, dan Belanda melawan Habsburg Spanyol, Italia, dan Habsburg Austria.
Pemberontakan dan Kebangkitan Kembali(1566–1683)
Sepeninggal Suleiman tahun 1566, beberapa wilayah kekuasaan kesultanan mulai menghilang. Kebangkitan kerajaan-kerajaan Eropa di barat beserta dengan penemuan jalur alternatif Eropa ke Asia melemahkan perekonomian Kesulatanan Utsmaniyah. Efektifitas militer dan struktur birokrasi warisan berabad-abad juga menjadi kelemahan dibawah pemerintahan Sultan yang lemah. Walaupun begitu, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansi yang besar sampai kejadian Pertempuran Wina tahun 1683 yang menandakan berakhirnya usaha ekspansi Kesultanan Utsmaniyah ke Eropa.
Kerajaan-kerajaan Eropa berusaha mengatasi kontrol monopoli jalur perdagangan ke Asia oleh Kesultanan Utmaniyah dengan menemukan jalur alternatif. Secara ekonomi, pemasukan Spanyol dari benua baru memberikan pengaruh pada devaluasi mata uang Kesultanan Utsmaniyah dan mengakibatkan inflasi yang tinggi. Hal ini memberikan efek negatif terhadap semua lapisan masyarakat Utsmaniyah.
Pertempuran Lepanto tahun 1571
Di Eropa Selatan, sebuah koalisi antar kekuatan dagang Eropa di Semenanjung Italia berusaha untuk mengurangi kekuatan Kesultanan Utsmaniyah di Laut Mediterania. Kemenangan koalisi tersebut di Pertempuran Lepanto (sebetulnya Navpaktos,tapi semua orang menjadi salah mengeja menjadi Lepanto) tahun 1571 mengakhiri supremasi kesultanan di Mediterania. Pada akhir abad ke-16, masa keemasan yang ditandai dengan penaklukan dan perluasan wilayah berakhir.
Serangan kedua Wina tahun 1683
Di medan perang, Kesultanan Utsmaniyah secara perlahan-lahan tertinggal dengan teknologi militer orang Eropa dimana inovasi yang sebelumnya menjadikan faktor kekuatan militer kesultanan terhalang oleh konservatisme agama yang mulai berkembang. Perubahan taktik militer di Eropa menjadikan pasukan Sipahi yang dulunya ditakuti menjadi tidak relevan. Disiplin dan kesatuan pasukan menjadi permasalahan disebabkan oleh kebijakan relaksasi rekrutmen dan peningkatan jumlah Yenisaris yang melebihi pasukan militer lainnya
Murad IV (1612-1640), yang menaklukkan Yereva tahun 1635 dan Baghdad tahun 1639 dari kesultanan Safavid, adalah satu-satunya Sultan yang menunjukkan kontrol militer dan politik yang kuat di dalam kesultanan. Murad IV merupakan Sultan terakhir yang memimpin pasukannya maju ke medan perang.
Pemberontakan Jelali (1519-1610) dan Pemberontakan Yenisaris (1622) mengakibatkan ketidakpastian hukum dan pemberontakan di Anatolia akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, dan berhasil menggulingkan beberapa pemerintahan. Namun, abad ke-17 bukan hanya masa stagnasi dan kemunduran, tetapi juga merupakan masa kunci di mana kesultanan Utsmaniyah dan strukturnya mulai beradaptasi terhadap tekanan baru dan realitas yang baru, internal maupun eksternal.
Kesultanan Wanita (1530-1660) adalah peridode di mana pengaruh politik dari Harem Kesultanan sangat besar, di mana ibu dari Sultan yang muda mengambilalih kekuasaan atas nama puteranya. Hürrem Sultan yang mengangkat dirinya sebagai pewaris Nurbanu, dideskripsikan oleh perwakilan Wina Andrea Giritti sebagai wanita yang saleh, berani, dan bijaksana. [3]Masa ini berakhir sampai pada kekuasaan Sultan Kösem dan menantunya Turhan Hatice, yang mana persaingan keduanya berakhir dengan terbunuhnya Kösem tahun 1651. Berakhirnya periode ini digantikan oleh Era Köprülü (1656-1703), yang mana kesultanan pada masa ini pertama kali dikontrol oleh beberapa anggota kuat dari Harem dan kemudian oleh beberapa Perdana Menteri (Grand Vizier).
[sunting] Keadaan Politik Menjelang Keruntuhan
Politik di sini dibagi jadi dua. Pertama politik dalam negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di wilayahnya; mengatur mu'amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum, menjaga akhlak, mengurus urusan rakyat sesuai hukum Islam, menjamin pelaksanaan syi'ar dan ibadah. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara Islam[4]. Arti kedua adalah politik luar negeri, (belum selesai)
[sunting] Politik dalam negeri
Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur:
• Pertama, buruknya pemahaman Islam.
• Kedua, salah menerapkan Islam.
Sebetulnya, kedua hal di atas bisa diatasi saat kekholifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi, tapi kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik. Suleiman II-yang dijuluki al-Qonun, karena jasanya mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis Ibrohimul Halabi (1549). Padahal khilafah Islam bukan negara mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya 1 mazhab.
Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman II (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788)[5]. Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826)[6], sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni[7].
Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad ke-17, sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan peawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.
Paruh kedua abad ke-16, terjadilah krisis moneter saat emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru lewat kolonial Spanyol. Mata uang khilafah saat itu terpuruk; infasi hebat. Mata uang Baroh diluncurkan khilafah tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata uang Qisry di abad ke-17[8]. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman memberontak pada paruh kedua abad ke-16[9]. Akibat adanya korupsi negara harus menanggung utang 300 juta lira[10].
Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari[11].
Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).
Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.
Konspirasi Menghancurkan Khilafah
Gerakan misionaris
Di dalam negara, ahlu dzimmah-khususnya orang Kristen-yang mendapat hak istimewa zaman Suleiman II, akhirnya menuntut persamaan hak dengan muslimin. Malahan hak istimewa ini dimanfaatkan untuk melindungi provokator dan intel asing dengan jaminan perjanjian antara khilafah dengan Bizantium (1521), Prancis (1535), dan Inggris (1580). Dengan hak istimewa ini, jumlah orang Kristen dan Yahudi meningkat di dalam negeri. Ini dimanfaatkan misionaris-yang mulai menjalankan gerakan sejak abad ke-16. Malta dipilih sebagai pusat gerakannya. Dari sana mereka menyusup ke Suriah(1620) dan tinggal di sana sampai 1773. Di tengah mundurnya intelektualitas Dunia Islam, mereka mendirikan pusat kajian sebagai kedok gerakannya. Pusat kajian ini kebanyakan milik Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, yang digunakan Barat untuk mengemban kepemimpinan intelektualnya di Dunia Islam, disertai serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini sudah lama dipersiapkan orientalis Barat, yang mendirikan Pusat Kajian Ketimuran sejak abad ke-14.
Gerakan misionaris dan orientalis itu merupakan bagian tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasainya - meminjam istilah Imam al-Ghozali - Islam sebagai asas harus hancur, dan khilafah Islam harus runtuh. Untuk meraih tujuan pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan kedua, mereka hembuskan nasionalisme dan memberi stigma pada khilafah sebagai Orang Sakit. Agar kekuatan khilafah lumpuh, sehingga agar bisa sekali pukul jatuh, maka dilakukanlah upaya intensif untuk memisahkan Arab dengan lainnya dari khilafah. Dari sinilah, lahir gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Malah, gerakan keagamaan tak luput dari serangan, seperti Gerakan Wahabi di Hijaz.
[sunting] Gerakan nasionalisme dan separatisme
Nasionalisme dan separatisme telah dipropagandakan negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia. Itu bertujuan untuk menghancurkan khilafah Islam. Keberhasilannya memakai sentimen kebangsaan dan separatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan Yunani mendorongnya memakai cara sama di seluruh wilayah khilafah. Hanya saja, usaha ini lebih difokuskan di Arab dan Turki. Sementara itu, KeduBes Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis khilafah-seperti Baghdad, Damsyik, Beirut, Kairo, dan Jeddah-telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan misinya, dibangunlah 2 markas. Pertama, Markas Beirut, yang bertugas memainkan peranan jangka panjang, yakni mengubah putra-putri umat Islam menjadi kafir dan mengubah sistem Islam jadi sistem kufur. Kedua, Markas Istambul, bertugas memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul telak khilafah.
KeduBes negara Eropapun mulai aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kairo dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai Rofiqul 'Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum harfiah dibentuk. Inggris dan Prancis mulai menyusup ke tengah orang Arab yang memperjuangkan nasionalisme. Pada 8 Juni 1913, para pemuda Arab berkongres di Paris dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis Damsyik telah membongkar rencana pengkhianatan kepada khilafah yang didukung Inggris dan Prancis.
Di Markas Istambul, negara-negara Eropa tak hanya puas merusak putra-putri umat Islam di sekolah dan universitas lewat propaganda. Mereka ingin memukul khilafah dari dekat secara telak. Caranya ialah mengubah sistem pemerintahan dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan Barat dan hukum kufur. Kampanye mulai dilakukan Rasyid Pasha, MenLu zaman Sultan Abdul Mejid II (1839). Tahun itu juga, Naskah Terhormat(Kholkhonah)-yang dijiplak dari UU di Eropa-diperkenalkan. Tahun 1855, negara-negara Eropa-khususnya Inggris-memaksa khilafah Utsmani mengamandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Naskah Hemayun (11 Februari 1855). Midhat Pasha, salah satu anggota Kebatinan Bebas diangkat jadi perdana menteri (1 September 1876). Ia membentuk panitia Ad Hoc menyusun UUD menurut Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi ini ditolak Sultan Abdul Hamid II dan Sublime Port-pun enggan melaksanakannya karena dinilai bertentangan dengan syari'at. Midhat Pashapun dipecat dari kedudukan perdana menteri. Turki Muda yang berpusat di Salonika-pusat komunitas Yahudi Dunamah-memberontak (1908). Kholifah dipaksanya-yang menjalankan keputusan Konferensi Berlin-mengumumkan UUD yang diumumkan Turki Muda di Salonika, lalu dibukukanlah parlemen yang pertama dalam khilafah Turki Utsmani (17 November 1908). Bekerja sama dengan syaikhul Islam, Sultan Abdul Hamid II dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika. Sejak itu sistem pemerintahan Islam berakhir.
Tampaknya Inggris belum puas menghancurkan khilafah Turki Utsmani secara total. Perang Dunia I (1914) dimanfaatkan Inggris menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanella yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha-yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan pada Perang Ana Forta (1915). Ia-agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika-melakukan agenda Inggris, yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan khilafah Islam. Ia menyelenggarakan Kongres Nasional di Sivas dan menelurkan Deklarasi Sivas (1919 M), yang mencetuskan Turki merdeka dan negeri Islam lainnya dari penjajah, sekaligus melepaskannya dari wilayah Turki Utsmani. Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dll mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga merdeka. Saat itu sentimen kebangsaan tambah kental dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.
[sunting] Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani
Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.
[sunting] Respon atas runtuhnya Turki Usmani di Hindia Belanda (Indonesia)
Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafahm sebuah komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah. Tujuannya untuk membahas undangan kongres khilafah di Kairo [12]. Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Kongres Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924, yang diikuti 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat (hoofdbestuur) maupun cabang (afdeling), serta mendapat dukungan tertulis dari 10 cabang organisasi lainnya. Kongres ini juga dihadiri oleh banyak ulama dari seluruh penjuru Hindia Belanda. Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam[13]. Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi [14].
Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan Muhammadiyah, KHA. Wahab dan 3 penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan ulama senior dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sempat mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan 2 maksud, yakni mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke kalangan pembaharu, dan menyerukan kepada Ibnu Sa'ud], penguasa baru di Arab Saudi agar kebiasaan beragama yang benar dapat diteruskan [15]. Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama[16].
Pada tahun yang sama diselenggarakan Muktamar Alam Islamy Far'ul Hindias Syarqiyah (MAIFHS, Konferensi Dunia Islam Cabang Hindia Timur) di Bogor, sebagai respon atas undangan Kongres Islam Sedunia yang diselenggarakan Ibnu Saud dari Arab Saudi[17]. Pada tanggal 13-19 Mei 1926, diadakan Kongres Dunia Islam di Kairo. Dari Hindia Belanda hadirlah H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul. Di bulan berikutnya (1 Juni 1926) diselenggarakan Kongres Khilafah di Makkah. Saat itu Indonesia mengirimkan 2 utusan, yakni Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam) dan K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah). Penunjukan mereka ditetapkan pada Kongres Al-Islam IV di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan V di Bandung (6 Februari 1926). Mereka berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya dengan kapal Rondo dan dielu-elukan masyarakat. Sesampai di Tanjung Priok banyak pemimpin Islam yang menyambut ke pelabuhan.
Pada tahun 1927 berlangsung Kongres Khilafah II di Makkah. Hindia-Belanda diwakili oleh H. Agus Salim (SI). Hasilnya, Raja 'Abdul 'Aziz bin Sa'ud (dalam sambutannya) tidak menginginkan dibicarakannya masalah khilafah dalam kongres tersebut sehingga kongres itu gagal[18].
Negara Turki adalah negara di dua benua. Dengan luas wilayah sekitar 814.578 kilometer persegi, 97% (790.200 km persegi) wilayahnya terletak di benua Asia dan sisanya sekitar 3% (24.378 km persegi) terletak di benua Eropa. Posisi geografi yang strategis itu menjadikan Turki jembatan antara Timur dan Barat. Bangsa Turki diperkirakan berasal dari Asia Tengah. Secara historis, bangsa Turki mewarisi peradaban Romawi di Anatolia, peradaban Islam, Arab dan Persia sebagai warisan dari Imperium Usmani dan pengaruh negara-negara Barat Modern. Hingga saat ini bangunan-bangunan bersejarah masa Bizantium masih banyak ditemukan di Istanbul dan kota-kota lainnya di Turki. Yang paling terkenal adalah Aya Sofya, suatu gereja di masa Bizantium yang berubah fungsinya menjadi mesjid pada masa Khalifah Usmani dan sejak pemerintahan Mustafa Kemal hingga kini dijadikan musium.
Peradaban Islam dengan pengaruh Arab dan Persia menjadi warisan yang mendalam bagi masyarakat Turki sebagai peninggalan Dinasti Usmani. Islam di masa kekhalifahan diterapkan sebagai agama yang mengatur hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Allah SWT sebagai Khalik, Sang Pencipta; dan juga suatu sistem sosial yang melandasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam yang muncul di Jazirah Arab dan telah berkembang lama di wilayah Persia, berkembang di wilayah kekuasaan Kekhalifahan Turki dengan membawa peradaban dua bangsa tersebut. Perkembangan selanjutnya memperlihatkan pengaruh yang kuat kedua peradaban tersebut ke dalam kebudayaan bangsa Turki. Kondisi ini menimbulkan kekeliruan pada masyarakat awam yang sering menganggap bahwa bangsa Turki sama dengan bangsa Arab. Suatu anggapan yang keliru yang selalu ingin diluruskan oleh bangsa Turki sejak tumbuhnya nasionalisme pada abad ke-19. Selanjutnya arah modernisasi yang berkiblat ke Barat telah menyerap unsur-unsur budaya Barat yang dianggap modern. Campuran peradaban Turki, Islam dan Barat, inilah yang telah mewarnai identitas masyarakat Turki.
Masyarakat Indonesia mengenal Turki sebagai suatu negara berpenduduk mayoritas Muslim. Kita juga mengenal Turki sebagai bangsa yang pernah memimpin dunia Islam selama tujuh ratus tahun, dari permulaan abad ke-13 hingga jatuhnya Kekhalifahan Usmani pada awal abad ke-20. Fenomena kehidupan masyarakat Turki menjadi menarik ketika negara Turki yang berdiri tahun 1923 menyatakan sebagai sebuah negara sekuler, di mana Islam yang telah berfungsi sebagai agama dan sistem hidup bermasyarakat dan bernegara selama lebih dari tujuh abad, dijauhkan peranannya dan digantikan oleh sistem Barat. Tulisan ini mencoba memaparkan fenomena tersebut dari pandangan sosiologi sejarah.
Dari Westernisasi menuju Sekularisasi
Yang dianggap sebagai momentum pertama kontak antara Turki dengan dunia Barat adalah jatuhnya konstantinopel, ibukota Bizantium, ke tangan pasukan Turki Usmani dibawah pimpinan Sultan Muhammad II pada tahun 1453. Konstantinopel yang selanjutnya diganti menjadi Istanbul, adalah suatu kota metropolis yang berada di benua Asia dan Eropa. Inilah titik awal masa keemasan Turki Usmani, yang terus cemerlang hingga abad ke-18 dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas membentang dari Hongaria Utara di Barat hingga Iran di Timur; dari Ukrania di Utara hingga Lautan India di Selatan.
Turki Usmani berhasil membentuk suatu Imperium besar dengan masyarakat yang multi-etnis dan multi-religi. Kebebasan dan otonomi kultural yang diberikan Imperium kepada rakyatnya yang non-muslim, adalah suatu bukti bagi dunia kontemporer bahwa sistem kekhalifahan dengan konsep Islam telah mempertunjukkan sikap toleransi dan keadilan yang luhur.
Sultan adalah sekaligus khalifah, artinya sebagai pemimpin negara, Ia juga memegang jabatan sebagai pemimpin agama. Kekhalifahan Turki Usmani didukung oleh kekuatan ulama (Syeikhul Islam) sebagai pemegang hukum syariah dan kekuatan tentara, yang dikenal dengan sebutan tentara Janisssari. Kekuatan militer yang disiplin inilah yang mendukung perluasan Imperium Usmani, dan juga yang menyebabkan keruntuhannya pada abad ke-20.
Kegagalan pasukan Turki dalam usaha penaklukan Wina pada tahun 1683, merupakan suatu awal memudarnya kecermelangan Imperium Turki. Kekalahan tersebut dimaknai sebagai melemahnya kekuatan pasukan Turki dan menguatnya pasukan Eropa. Lebih disadari lagi bahwa kekalahan itu menandai kelemahan teknik dan militer pasukan Turki. Inilah yang menjadi awal munculnya upaya mencontoh teknologi militer Barat yang dianggap telah maju. Selanjutnya kondisi ini membawa Turki Usmani pada suatu masa pembaruan atau modernisasi.
Setelah Perang Dunia I pada tahun 1918, dengan kekalahan pihak Sentral yang didukung oleh Turki, Imperium Turki Usmani mengalami masa kemuduran yang sangat menyedihkan. Satu persatu wilayah kekuasaan yang jauh dari pusat membebaskan diri dari kekuasaan Turki Usmani. Bahkan lebih buruk lagi negara-negara sekutu berupaya membagi-bagi wilayah kekuasaan Turki untuk dijadikan negara koloni mereka. Kondisi porak porandanya Imperium menumbuhkan semangat nasionalisme pada generasi muda Turki ketika itu. Pemikiran tentang identitasa bangsa dan pentingnya suatu negara nasionalis yang meliputi bangsa Turki menjadi wacana yang banyak diperdebatkan.
Pada tahun 1919-1923 terjadi revolusi Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal. Kecemerlangan karier politik Mustafa Kemal dalam peperangan, yang dikenal sebagai perang kemerdekaan Turki, mengantarkannya menjadi pemimpin dan juru bicara gerakan nasionalisme Turki. Gerakan nasionalisme ini, yang pada waktu itu merupakan leburan dari berbagai kelompok gerakan kemerdekaan di Turki, semula bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan Turki dari rebutan negara-negara sekutu. Namun pada perkembangan selanjutnya gerakan ini diarahkan untuk menentang Sultan.
Mustafa Kemal mendirikan Negara Republik Turki di atas puing-puing reruntuhan kekhalifahan Turki Usmani dengan prinsip sekularisme, modernisme dan nasionalisme. Meskipun demikian, Mustafa Kemal bukanlah yang pertama kali memperkenalkan ide-ide tersebut di Turki. Gagasan sekularisme Mustafa Kemal banyak mendapat inspirasi dari pemikiran Ziya Gokalp, seorang sosiolog Turki yang diakui sebagai Bapak Nasionalisme Turki. Pemikiran Ziya Gokalp adalah sintesa antara tiga unsur yang membentuk karakter bangsa Turki, yaitu ke-Turki-an, Islam dan Modernisasi.
Kronologi sejarah di atas, penulis uraikan untuk menerangkan suatu kondisi sosial politik Imperium Usmani yang membentuk pemikiran dan gerakan sekuler Mustafa Kemal. Dengan demikian Mustafa dan pengikutnya menggerakkan reformasi-reformasi di Turki dengan dasar-dasar yang telah diletakkan oleh para pembaru-pembaru di kekhalifahan Turki. Pada perkembangan selanjutnya ide-ide reformasi Mustafa Kemal menjadi suatu gerakan politik pemerintah yang dikenal dengan sebutan Kemalisme.
Kemalisme: Suatu Revolusi Budaya dan Negara (1923-1950)
Politik Kemalis ingin memutuskan hubungan Turki dengan sejarahnya yang lalu supaya Turki dapat masuk dalam peradaban Barat. Oleh karena itulah penghapusan kekhalifahan merupakan agenda pertama yang dilaksanakan. Pada tanggal 1 November 1922 Dewan Agung Nasional pimpinan Mustafa Kemal menghapuskan kekhalifahan. Selanjutnya pada tanggal 13 Oktober 1923 memindahkan pusat pemerintahan dari Istanbul ke Ankara. Akhirnya Dewan Nasional Agung pada tanggal 29 Oktober 1923 memproklamasikan terbentuknya negara Republik Turki dan mengangkat Mustafa Kemal sebagai Presiden Republik Turki.
Setelah meniadakan kekhalifahan, politik Kemalisme menghapuskan lembaga-lembaga syariah, meskipun sebenarnya peranan lembaga ini sudah sangat dibatasi oleh para pembaru Kerajaan Usmani. Bagi Kemalis, syariat adalah benteng terakhir yang masih tersisa dari sistem keagamaan tradisional. Lebih lanjut lagi Kemalis menutup sekolah-sekolah madrasah yang sudah ada sejak tahun 1300-an sebagai suatu lembaga pendidikan Islam.
Reformasi agama adalah salah satu contoh tindakan ekstrim dari rezim Kemalis setelah penghapusan khalifah. Reformasi ini bertujuan untuk memisahkan agama dari kehidupan politik negara dan mengakhiri kekuatan tokoh-tokoh agama dalam masalah politik, sosial dan kebudayaan. Selain itu Mustafa Kemal juga mengajukan pemikiran tentang nasionalisme agama. Menurutnya agama merupakan suatu lembaga sosial dan karena itu harus disesuaikan dengan sosial dan budaya masyarakat Turki.
Suatu komite dibentuk di Fakultas Teologi di Universitas Istanbul untuk memodernisasikan Islam. Komite ini menyebarkan keinginan Mustafa kemal untuk mengganti bentuk dan suasana mesjid seperti bentuk dan suasana gereja di negara-negara Barat, dengan menekankan pada: pentingnya mesjid yang bersih, dengan bangku-bangku dan ruang tempat menyimpan mantel; mewajibkan jamaah masuk dengan sepatu yang bersih; menggantikan bahasa Arab dengan bahasa Turki; menyediakan alat-alat musik ditempat shalat untuk memperindah bentuk shalat, dan mengubah teks-teks khutbah yang telah ada dengan khutbah yang berisi pemikiran agama berdasarkan filsafat Barat. Pada tahun 1932 pemerintah mengeluarkan kebijakan mengganti pengucapan azan ke dalam bahasa Turki, yang amat ditentang oleh mayoritas masyarakat Muslim Turki.
Reformasi agama, yang bentuknya upaya Turkifikasi Islam atau nasionalisasi Islam ini merupakan bentuk campur tangan pemerintah Kemalis dalam kehidupan beragama di masyarakat Turki. Sekularisme yang sejatinya memisahkan hubungan agama dengan pemerintahan, di mana negara menjamin kebebasan beribadah, bagi warga negara, pada pelaksanaannya dijalankan dengan semangat nasionalisme yang radikal dan dipaksakan oleh Kemalis. Namun penerapan nasionalisasi agama ini hanya bertahan hingga akhir pemerintahan Kemalis (Partai Rakyat Republik). Sejak tahun 1950, azan kembali diucapkan dalam bahasa Arab. Mesjid-mesjid di Turki pun hingga saat ini tetap menunjukkan bentuk-bentuk yang umum sebagaimana mesjid di negara-negara lainnya.
Peradaban menurut Mustafa Kemal, berarti peradaban Barat. Tema utama dari pandangannya tentang pem-Barat-an adalah bahwa Turki harus menjadi bangsa Barat dalam segala tingkah laku. Untuk itu Pemerintah Kemalis mengeluarkan kebijakan larangan menggunakan pakaian-pakaian yang dianggap pakaian agama di tempat-tempat umum dan menganjurkan masyarakat Turki menggunakan pakaian sebagaimana orang-orang Barat berpakaian (berjas dan bertopi). Peraturan ini mulai efektif pada November 1925 dan hingga saat ini masyarakat Turki menggunakan pakaian a-la Barat. Sampai saat ini pemakaian jas sudah menjadi ciri umum dari masyarakat Turki. Sedangkan pemakaian topi menghilang bersamaan dengan menghilangnya kebiasaan memakai topi itu pada masyarakat Eropa.
Mustafa Kemal juga mengkritik pemakaian jilbab oleh wanita-wanita Turki, tapi semasa hidupnya tidak ada undang-undang yang secara tegas melarang pemakaian jilbab tersebut. Pelarangan jilbab secara konstitusional baru terjadi pada tahun 1998, sebagai reaksi militer atas munculnya fenomena kesadaran yang tinggi dari muslimah-muslimah Turki dalam menggunakan jilbab dan juga reaksi atas kemenangan Partai Islam Refah pada pemilu tahun 1995.
Selain reformasi agama, reformasi yang paling penting dari rezim Kemalis adalah reformasi bahasa. Tulisan Arab diganti dengan tulisan Latin, berdasarkan undang-undang yang diputuskan oleh Dewan Nasional Agung pada 3 Novemeber 1928. Tujuan reformasi bahasa adalah membebaskan bahasa Turki dari ‘belenggu’ bahasa asing. Penekanannya adalah pemurnian bahasa Turki dari bahasa Arab dan Persi. Mustafa Kemal mengadakan kunjungan di banyak tempat untuk mengajar secara langsung tulisan baru pada rakyat Turki.
Reformasi bahasa ini memberi sumbangan yang berharga bagi perkembangan linguistik bahasa Turki saat ini. Penelitian yang mendalam terhadap akar bahasa dan struktur bahasa Turki membuktikan bahwa bahasa Turki termasuk kelompok bahasa Altay, yaitu bahasa-bahasa yang dipergunakan bangsa-bangsa yang mendiami wilayah yang membentang dari Finlandia hingga Manchuria. Dari segi gramatikal, bahasa Turki termasuk bahasa aglutinatif, yaitu bahasa berimbuhan. Struktur sintaksis memperlihatkan pola Objek-Predikat, dimana Predikat selalu berada di akhir kalimat. Ciri-ciri struktural bahasa Turki memperlihatkan perbedaannya yang jelas dengan bahasa Arab.
Komite ahli hukum mengambil Undang-Undang sipil Swiss untuk memenuhi keperluan hukum di Turki menggantikan Undang-Undang Syariah, berdasarkan keputusan Dewan Nasional agung tanggal 17 februari 1926. Undang-Undang Sipil yang mulai diberlakukan pada tanggal 4 Oktober 1926 ini antara lain tentang: menerapkan monogami; melarang poligami dan memberikan persamaan hak antara pria dan wanita dalam memutuskan perkawinan dan perceraian. Sebagai konsekuensi dari persaman hak dan kewajiban ini hukum waris berdasarkan Islam dihapuskan. Selain itu undang-undang sipil juga memberi kebebasan bagi perkawinan antar agama.
Pada I Januari 1935, pemerintah mengharuskan pemakaian nama keluarga bagi setiap orang Turki dan melarang pemakaian gelar-gelar yang biasa dipakai pada masa Turki Usmani. Mustafa Kemal menambahkan nama Ataturk, yang berarti Bapak Bangsa Turki, sebagai nama keluarga. Pada tahun 1935 sistem kalender hijriyah diganti dengan sistem kalender masehi; hari Minggu dijadikan sebagai hari libur menggantikan hari libur sebelumnya yaitu hari Jumat.
Tentang sekularisasi dan modernisasi di Turki pada masa Rezim Kemalis seperti diuraikan di atas, Bryan S. Turner, seorang guru besar sosiologi di Universitas Flinders (Australia Selatan), menyimpulkan bahwa sekularisme tersebut merupakan suatu bentuk pemaksaan dari pemerintah rezim, bukanlah sekularisasi yang tumbuh sebagai suatu konsekuensi dari proses modernisasi seperti di negara-negara Eropa. Selain itu sekularisasi di Turki pada saat itu merupakan peniruan secara sadar pola tingkah laku masyarakat Eropa yang dianggap modern dan lebih maju (1984:318). Bagi kemalis, manusia Turki baru tidak saja harus berpikiran rasional seperti orang-orang Eropa, tetapi juga harus meniru tatacara berperrilaku dan berpakaian seperti mereka.
Masyarakat Turki Pasca Kemalisme
Mustafa Kemal meninggal dunia pada tanggal 10 November 1938, setelah tiga kali menjabat sebagai presiden Republik Turki, yaitu pada tahun1927, 1931 dan 1935. Mustafa Kemal diakui berhasil menciptakan sistem pemerintahan parlementer dan meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi kehidupan demokratisasi di Turki. Partai Republik rakyat adalah partai politik yang dibentuk Mustafa Kemal untuk menjalankan roda Pemerintahan. Meskipun demikian, sejarah Turki menunjukkan pemerintahan Kemal dengan sistem pemerintahan satu partai tidak memberi ruang bagi kemunculan partai oposisi. Iklim Demokrasi muncul kemudian sejak Turki menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945 dan terus berkembang menunjukkan kemajuan yang pesat. Daniel Lerner (di dalam Memudarnya Masyrakat Tradisional, 1983) telah melakukan penelitian yang mendalam di suatu kota dekat Ankara pada tahun 1950-an, dan menyimpulkan bahwa negara Turki telah tumbuh menjadi negara yang relatif lebih stabil dan demokratis di banding dengan negara-negara lain di kawasan Timur Tengah.
Reformasi budaya, terutama sekularisasi agama dan pemakaian hukum Barat menggantikan hukum Islam, memperlihatkan proses dinamis dari penerimaan dan penolakan masyarakat Turki. Sekularisasi agama pada masa Kemalis (1923-1950) melahirkan generasi Turki yang jauh dari agamanya. Bahasa Turki yang ditulis dalam bahasa latin telah menjadi bahasa nasional Turki. Sedangkan pemakaian hukum-hukum Barat juga diadaftasi dengan berbagai tingkatan kesulitan di berbagai lapisan msyarakat.
Pada pemilu 1950, kekuasaan tunggal Partai Republik Rakyat berakhir dan digantikan oleh partai sekuler beraliran liberal, yaitu Partai Demokrat. Partai pimpinan Adnan Menderes ini mencoba mngoreksi penyimpangan-penyimpangan sekularisasi yang sudah dijalankan oleh Partai Republik Rakyat sejak berdirinya negara Turki. Namun Adnan menderes juga tidak ingin Kemalisme digantikan dengan ideologi lain. Sejak masa pemerintahan Partai Demokrat inilah masyarakat Muslim yang merupakan mayoritas (98 persen dari 70 juta jiwa) penduduk Turki dapat melakukan shalat di mesjid-mesjid umum, berpuasa dan melakukan ibadah naik haji, yang pada masa Rezim Kemalis sulit dilakukan. Selain itu madrasah-madrasah kembali di buka, sehingga para orang tua dapat kembali menyekolahkan anak mereka di sekolah agama, setelah mereka menyadari bahwa mereka tumbuh sebagai suatu generasi yang kering dari nilai dan ilmu agama. Madrasah-madrasah ini kembali ditutup pada tahun 1998 setelah dianggap sebagai lembaga yang mendidik kelompok Islam fundamental yang keberadaannya menguat dan mengancam ideologi sekuler Turki.
Perkembangan masyarakat di Turki menemukan karakter sendiri yang unik sebagai suatu bentuk pertentangan yang rumit antara pemikiran Kemalisme, yang fundamental dan radikal, pemikiran liberalis yang meskipun menentang Kemalisme tetapi tidak ingin ideologi ini diganti, dan pemikiran Islam, baik yang konservatif maupun moderat. Semangat masyarakat Turki modern untuk menjadi suatu bangsa yang modern dan demokratis, selalu disertai dengan kesadaran yang mendalam tentang watak dan idealisme ke-Turki-an dan ke Islaman. Penulis melihat bahwa gagasan sintesa tentang Islam, Turki dan Barat yang pernah dimunculkan oleh Ziya Gokalp (Bapak naasionalis Turki) mulai terimplementasikan dengan wajar dan alami, sedangkan Kemalisme dijadikan ideologi negara yang keberadaannya sangat dijaga oleh kekuatan militer Turki.
Militer Turki mengambil peran sebagai penjaga ideologi Kemalisme sebagai prinsip negara. Jatuhnya pemerintahan Partai Islam Refah pada tahun 1998 adalah suatu bukti masih dominannya pengaruh politik militer di Turki. Namun kebangkitan Islam, baik itu suatu fenomena kesadaran umat Islam Turki untuk kembali mempelajari nilai-nilai Islam di tengah kebijakan sekuler pemerintah dan fenomena dukungan masyarakat Islam terhadap kemenangan partai politik yang dianggap membawa aspirasi Islam terus memperlihatkan kemajuan ke arah yang positif. Aspirasi dan dukungan yang besar dari masyarakat Turki kembali mengantarkan kemenangan partai berbasis Islam: Partai Keadilan dan Pembangunan dalam pemilu 2002. Meskipun secara tegas pemimpin partai ini menyatakan bahwa Partai Keadilan dan Pembangunan bukanlah partai Islam dan mereka menyatakan komitmennya yang sungguh-sungguh menjaga ideologi sekularisme di Turki, nampaknya Rakyat Turki lebih melihat mereka sebagai sosok-sosok muslim yang shaleh yang diharapkan dapat membawa Turki ke arah yang lebih maju.
Sebagai penutup, dari pengalaman hidup di negara Turki, penulis menarik satu kesimpulan bahwa opini masyarakat Turki hingga saat ini masih terpecah dalam penilaian terhadap Mustafa Kemal Ataturk: Ia dihormati sebagai penyelamat bangsa dan pendiri negara modern Turki, dan dikecam sebagai pengkhianat yang bertanggung jawab atas hilangnya kekahlifahan Islam. Kontradiksi ini menjadi bagian dari sejarah Turki yang tidak mudah disepahamkan.
----------------------------------
Alkimia di Mesir Kuno
Alkimiawan Barat umumnya menelusur asal-usul seni mereka ke Mesir Kuno. Metalurgi dan mistisisme bertautan erat di dunia kuno, karena perubahan bijih kusam menjadi logam berkilau pasti bagi mereka serupa sihir, yang dikuasai suatu aturan misterius. Oleh karena itu, diperkirakan alkimia di Mesir Kuno dikuasai oleh kelas pendeta.
Kota Iskandariyah di Mesir adalah pusat pengetahuan alkimia, dan tetap diagungkan hingga setelah keruntuhan budaya Mesir Kuno sekalipun, selama masa-masa Yunani dan Romawi. Sayangnya, hampir tak ada dokumen Mesir asli tentang alkimia yang masih tersisa sekarang. Andaikan ada, tulisan-tulisan itu kemungkinan besar hilang ketika Kaisar Diocletian memerintahkan pembakaran buku-buku alkimia setelah meredam pemberontakan di Iskandariyah (296), yang merupakan pusat alkimia Mesir. Alkimia Mesir sebagian besar dikenal melalui tulisan para filosof kuno (Helenisme) Yunani, yang sekarang hanya tersisa sebagai terjemahan Islam.
Menurut legenda, pendiri alkimia Mesir adalah Dewa Thoth, yang disebut Hermes-Thoth atau Thrice-Great Hermes (Hermes Trismegistus) oleh bangsa Yunani. Konon ia menulis sesuatu yang disebut 42 Kitab Pengetahuan, yang mencakup semua bidang pengetahuan — termasuk alkimia. Lambang Hermes adalah caduceus atau tongkat ular, yang menjadi salah satu dari banyak lambang utama alkimia. "Tablet Emerald" atau Hermetica karya Thrice-Greatest Hermes, yang dikenal hanya melalui terjemahan Yunani dan Arab, secara umum diakui telah membentuk dasar praktik dan filsafat alkimia Barat, yang disebut filsafat hermetis oleh para praktisi awalnya.
Inti pertama "Tablet Emerald" menyampaikan tujuan ilmu hermetis: "sebenar-benarnya, seyakin-yakinnya, dan tanpa keraguan, apa-apa yang di bawah itu sama dengan apa-apa yang di atas, dan apa-apa yang di atas sama dengan apa-apa yang di bawah, untuk menciptakan mukjizat satu hal" (Burckhardt, h. 196-7). Ini adalah keyakinan makrokosmos-mikrokosmos inti bagi filsafat hermetis. Dengan kata lain, tubuh manusia (mikrokosm) dipengaruhi oleh dunia luar (makrokosm), yang mencakup langit melalui astrologi, dan bumi melalui unsur (Burckhardt, h. 34-42).
Setelahnya, bangsa Masedonia yang berbahasa Yunani menaklukkan Mesir dan mendirikan kota Iskandariyah pada 331. Ini mempertemukan mereka dengan pemikiran Mesir.
Iskandariyah atau Alexandria (Yunani Ἀλεξάνδρεια; Arab الإسكندرية, al-iskandariyyah; Koptik Rakotə) adalah pelabuhan utama di Mesir, dan kota terbesar kedua di negara tersebut, dan juga ibu kota pemerintahan Al Iskandariyah yang terletak di pantai Laut Tengah. Kota ini terletak pada koordinat 31°12′ LU 29°15′ BT, 208 km di sebelah barat laut Kairo. Ia memiliki populasi 3.341.000.
Dinamakan atas pendirinya, Iskandar yang Agung, dan merupakan tempat penguasa Ptolemaik Mesir yang dengan cepat menjadi kota termegah dari dunia Hellenistik; menjadi nomor dua setelah Roma dalam luas dan kekayaan. Tetapi, setelah pendirian Kairo oleh penguasa Islam Mesir pada zaman pertengahan statusnya sebagai ibu kota negara berakhir, dan mengalami kemunduran, yang pada akhir periode Ottoman berkurang menjadi desa perikanan kecil.
Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi) adalah suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Oktober 2008[1].
Selama pembahasannya dan setelah diundangkan, UU ini maraknya mendapatkan penolakan dari masyarakat[2]. Masyarakat Bali berniat akan membawa UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD Bali Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak Undang-Undang Pornografi ini[3]. Ketua DPRD Papua Barat Jimmya Demianus Ijie mendesak Pemerintah untuk membatalkan Undang-Undang Pornografi yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan memisahkan diri dari Indonesia[4]. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak pengesahan dan pemberlakuan UU Pornografi[5].
Definisi dan Rancangan
Pembahasan akan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR.[6] Dalam perjalanannya draf RUU APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal.
Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".
Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) yang secara harafiah berarti "tulisan atau gambar tentang pelacur". Definisi pornoaksi pada draft ini adalah adalah "upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi".
Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR. Dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal.[7]
Pada RUU Pornografi, defisini pornografi disebutkan dalam pasal 1: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya, dengan memasukkan "gerak tubuh" kedalam definisi pornografi. [8]
Rancangan terakhir RUU ini masih menimbulkan kontroversi, banyak elemen masyarakat dari berbagai daerah (seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatra Utara, dan Papus), LSM perempuan yang masih menolak RUU ini [9][10][11].
Definisi pornografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.[12]
Kontroversi
Isi pasal RUU APP ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kelompok yang mendukung diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. MUI mengatakan bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan di museum [4]. Sedangkan kelompok yang menentang berasal dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi.
Dari sisi substansi, RUU ini dianggap masih mengandung sejumlah persoalan, antara lain RUU ini mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas, atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Misalnya, eksploitasi seksual, erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai hubungan seksual, gerakan menyerupai masturbasi, dan lain-lain.
Pihak yang menolak mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas, melalui majalah, buku, film dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU Porno ini, tapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barang-barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia.
Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada draft terakhir RUU Pornografi menyebutkan, pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Definisi ini, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang. [18][19]
Penyeragaman budaya
RUU ini juga dianggap tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama. RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa itu mempunyai norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila.
Tapi persepsi yang berbeda tampak pada pandangan penyusun dan pendukung RUU ini. Mereka berpendapat RUU APP sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengubah tatanan budaya Indonesia, tetapi untuk membentengi ekses negatif pergeseran norma yang efeknya semakin terlihat akhir-akhir ini. Karena itulah terdapat salah satu eksepsi pelaksanaannya yaitu yang menyatakan adat-istiadat ataupun kegiatan yang sesuai dengan pengamalan beragama tidak bisa dikenai sanksi, sementara untuk pertunjukan seni dan kegiatan olahraga harus dilakukan di tempat khusus pertunjukan seni atau gedung olahraga (Pasal 36), dan semuanya tetap harus mendapatkan ijin dari pemerintah dahulu (Pasal 37).
Rumusan dalam RUU APP tersebut dikhawatirkan akan dapat menjadikan seorang yang pada resepsi pernikahan memakai baju kebaya yang sedikit terbuka di bagian dada, dapat dikenakan sanksi paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun atau denda paling sedikit Rp. 200 Juta dan paling banyak Rp. 1 milyar, karena resepsi pernikahan bukanlah upacara kebudayaan atau upacara keagamaan. Sedangkan seseorang yang lari pagi di jalanan atau di lapangan dengan celana pendek dikhawatirkan akan bisa dinyatakan melanggar hukum, karena tidak dilakukan di gedung olahraga.
Fatwa MUI
MUI, pada 27 Mei 2006, mengeluarkan beberapa fatwa, diantaranya berisi: fatwa tentang perlu segeranya RUU APP diundangkan dan fatwa yang berisi desakan kepada semua daerah untuk segera memiliki perda anti maksiat, miras serta pelacuran.
Undang-Undang Pornografi Melegalisasi Pornografi dan Pornoaksi
Permasalahan pornografi memang pelik, bayangkan untuk pengesahan Undang-Undang nya membutuhkan waktu yang sangat panjang (kurang lebih 5 tahun). Berawal dari ruh untuk anti terhadap tindakan pornografi dan pornoaksi menjadi hanya sebatas perlu ada pengaturan permsalahan kepornoan saja. Sedangkan kata pornoaksinya lenyap tak berbekas. Bagi orang yang mengikuti perjalanan RUU sampai menjadi UU, maka akan tampak sebuah nilai yang makin lama makin liberal, sikap kompromi, dan kekaburan dari tujuan awal.
Sikap kompromi terjadi akibat adanya perseteruan Islam dan liberal-sekular. Pihak Islam sejak awal memang kurang percaya diri untuk menyuarakan Islam apa adanya. Hal tersebut bisa terlihat dari apa yang mereka dengung-dengungkan bukanlah syari’at Islam sehingga definisi pornografi dan porno-aksipun sejak awal (ketika masih RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) bukanlah definisi yang berasal dari Islam.
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad untuk mengatur seluruh kehidupan manusia; yaitu hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan dirinya sendiri, dan manusia dengan manusia lain. Hubungan yang diatur ini tidak hanya permasalahan rukun Islam saja, namun lebih dari itu; ekonomi, sosial, politik, pendidikan, budaya, sampai kepada hubungan luar negeri.
Porno dalam Islam bukan perkara yang menyangkut ketelanjangan, kesopanan ataupun budaya. Ketelanjangan, kesopanan ataupun budaya tidak memiliki standar yang jelas dan bisa menimbulkan multi interpretasi (banyak terjemahan). Islam juga tidak serta merta menyatakan bahwa porno adalah hal yang terlarang layaknya minuman keras, judi dan riba. Namun Islam mengatur penempatan porno dalam kehidupan dengan cara yang khas, terperinci dan jelas. Islam mengatur adanya kehidupan khusus dan umum, mengatur hubungan mahrom dan bukan mahrom, serta adanya perbedaan pengaturan dan aurat pria dan wanita. Perbuatan menampakkan aurat di depan non mahrom merupakan sesuatu kepornoan yang wajib dilarang menurut pandangan Islam, baik dilakukan di kehidupan khusus ataupun di kehidupan umum.
Aktivitas pornografi dalam UU Pornografi hanya dimaknai pada persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau yang mengesankan ketelanjangan dan alat kelamin. Dari pengertian ini seharusnya tidak perlu ada ketakutan bagi kaum liberal. Hal tersebut disebabkan karena memang UU Pornografi tidak ada sangkut pautnya dengan Islam, seperti banyak yang dituduhkan. UU ini murni menjunjung nilai-nilai sekularisme dan liberalisme yang merupakan asas negara Republik Indonesia.
Ruh UU Pornografi adalah mengakui kebebasan. Namun kebebasan yang tidak diatur akan menimbulkan berbagai masalah dan mengganggu kebebasan individu lain. Oleh sebab itulah, maka kepornoan dalam UU Pornografi tetap diperbolehkan dengan penempatannya dalam hal budaya, seni, dan adat istiadat. Dengan dalih ini maka UU Pornografi pada hakikatnya menjadi legalisasi terpeliharanya pornografi dan pornoaksi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pandangan Islam terhadap permasalahan kepornoan.
Umat Islam tidak selayaknya mempersibuk diri dengan permasalahan pro dan kontra terhadap UU ini. Sikap pro dan kontra terhadap aturan yang bukan dari Islam dapat menjadi ancaman bagi umat Islam kedepan. Seperti kasus UU Sisdiknas 2003 yang ketika masih menjadi RUU, umat Islam terfokus pada pro dan kontra yang disebabkan dengan pengadaan guru agama yang sesuai agama anak didik. Ketika disahkan menjadi UU, umat Islam merasa puas. Namun tak disangka ternyata UU Sisdiknas ini menjadi kekuatan hukum bagi komersialisasi terhadap dunia pendidikan.
Seharusnya kasus pada UU Sisdiknas ini tidak terulang lagi. Jangan sampai mata kita hanya melihat sesuatu pada permukaannya saja. Tapi kita seharusnya lebih jeli dan mengambil pelajaran bahwa segala sesutu yang bukan dari Islam hanya akan menjadi solusi yang pragmatis dan menimbulkan permasalahan baru.
Umat Islam jangan cepat puas dengan pengesahan UU Pornografi ini karena bisa menjadi bumerang untuk Islam itu sendiri. Bumerang tersebut adalah kita semakin toleran karena berstandar pada pengganti hukum Allah yaitu UU Pornografi. Disamping itu, dengan disahkannya UU Pornografi ini merupakan legalitas perbuatan kepornoan dengan dalih seni. Jadi jangan heran jika Inul, Dewi Persik ataupun Jupe tidak melanggar UU. Bahkan mereka dan orang sejenis lainnya berdiri dengan landasan yang kokoh untuk tetap melakukan kepornoaan tersebut. Bisa jadi nanti pemandangan turis berbikini yang datang ke Padang menjadi hal yang biasa-biasa saja karena tindakan tersebut dilindungi oleh UU.
Dapat dilihat, sebenarnya UU Pornorafi adalah murni produk sistem sekuler liberal yang menafikkan peran agama sebagai pengatur dalam kehidupan bermasyarakat. Namun herannya, kita sekarang menjumpai orang liberal-sekulerlah yang menentang dengan gagah berani disahkannya UU tersebut. Kita menyaksikan dihari pengesahan UU ini, perwakilan sekuler-liberal (F-PDI dan F-PDS) melakukan walk out dari ruang sidang. Sikap lantang mereka harus diacungi jempol dan layak dijadikan contoh bagi perwakilan yang merasa ‘mewakili’ suara Islam. Jika perwakilan Islam bersuara lantang dan tidak mengkompromikan antara hak dan bathil, maka tentulah Islam dapat diterapkan secara totalitas. Namun, berbeda halnya jika masih tidak percaya diri terhadap Islam sebagai problem solving dan kewajiban untuk diterapkan secara totalitas. Padahal, dengan penerapan Syariat Islam secara totalitas dalam wadah Daulah Khilafahlah yang dapat menghilangkan segala kepornoaan di atas bumi ini.
Agama, Seni, dan Regulasi Pornografi
Pro-kontra seperti ini memang tidak kunjung selesai. Tarik-menarik antara argumen agama-moralitas vis a vis kebebasan berekspresi-berkesenian terus berlangsung, tanpa ada titik temu. Di satu pihak ada kaum agamawan yang hendak mengontrol ruang publik secara ketat dan kadang-kadang juga kaku. Sementara di lain pihak, terdapat sekelompok masyarakat yang hendak melabuhkan kebebasan berekspresi dan berkesenian dalam ranah publik secara totalistis, tanpa hambatan.
SAAT ini, publik Indonesia terutama Jakarta dihebohkan oleh kehadiran sebuah film komedi remaja Buruan Cium Gue! Dari judulnya saja, film ini telah mengundang kontroversi, antara yang pro dan kontra. MUI misalnya, telah melancarkan kritik cukup keras atas kemunculan film tersebut. KH Amidhan, Ketua MUI Pusat, menyatakan bahwa film ini berpotensi merusak moral dan budaya bangsa. Adegan ciuman panas, menurutnya, hanya dimungkinkan di dalam ruang kesendirian oleh pasangan legal suami-istri, bukan di ruang publik oleh lelaki-perempuan yang tidak memiliki hubungan legal. Kegelisahan dan keprihatinan yang sama juga dialami oleh KH Abdullah Gimnastiar, seorang dai yang kini sedang kondang. Menurut Aa Gym, panggilan akrab KH Abdullah Gimnastiar, film tersebut tak ubahnya sebuah pengantar yang mengarah pada tindak perzinaan. MUI, Aa Gym, dan beberapa elemen lain, akhirnya berujung pada tuntutan yang paralel agar peredaran film tersebut segera dihentikan.
Sementara di pihak lain terdapat kalangan yang pro sembari menolak pelbagai keberatan yang diajukan para ulama di atas. Mereka menilai karya itu bukanlah film porno. Tidak ada pornografi di sana. Tidak ada norma susila dan batas kesopanan yang dilanggar. Terlebih, tandas para pendukung ini, batas-batas moralitas itu tidak statis, melainkah bergerak secara dinamis mengikuti capaian peradaban umat manusia. Dan bukankah film itu tak lebih dari sebuah rekaman dari realitas pergaulan anak muda Jakarta masa kini. Secara lebih jauh, mereka juga berpendirian bahwa pelarangan terhadap film itu merupakan sebentuk pelanggaran dan penodaan terhadap kebebasan berekspresi dan berkesenian. Dan kebebasan berekspresi itu adalah hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin undang-undang.
Pro-kontra seperti ini memang tidak kunjung selesai. Tarik-menarik antara argumen agama-moralitas vis a vis kebebasan berekspresi-berkesenian terus berlangsung, tanpa ada titik temu. Di satu pihak ada kaum agamawan yang hendak mengontrol ruang publik secara ketat dan kadang-kadang juga kaku. Sementara di lain pihak, terdapat sekelompok masyarakat yang hendak melabuhkan kebebasan berekspresi dan berkesenian dalam ranah publik secara totalistis, tanpa hambatan.
Menghadirkan agama
Menghadirkan agama --apalagi hanya satu tafsir tertentu dalam agama-- ke dalam dunia film, sungguh sangat musykil. Di antara dua entitas ini, agama dan film, terdapat jurang pemisah yang amat dalam. Agama sebagaimana dikemukakan di dalam fikih Islam memiliki perhatian yang rendah terdapat dunia perfilman ini, karena di dalamnya selalu dimungkinkan terjadinya sejumlah kemaksiatan. Agama mengatur secara amat ketat menyangkut hubungan laki dan perempuan yang bukan mahram. Tidak boleh ada persentuhan fisik. Sementara film meniscayakan adanya perjumpaan dan persentuhan fisikal. Jika film menuntut keseriusan dan totalitas dalam berakting, maka agama melalui fikih Islam justru hadir untuk membatasi totalitas itu.
Sebagai misal, adegan ciuman yang dilakukan orang yang bukan mahram dan berbeda jenis kelamin, baik karena tuntutan naskah film maupun karena telah menjadi kelaziman sosial, jika ditanyakan pada agama, maka tidak banyak yang dikatakan oleh agama, kecuali bahwa itu merupakan kawasan terlarang. Agama hanya datang dengan khotbah yang standar, tindakan itu merupakan perkara haram yang harus dihindari. Islam termasuk dalam deretan agama yang amat restriktif dalam perkara yang satu itu. Ciuman yang dilakukan oleh orang yang bukan mahram dan berbeda jenis kelamin, baik dilakukan dengan nafsu maupun tidak, dalam pandangan agama adalah memiliki derajat keharaman yang sama.
Ini, jika melulu berpatokan kepada Islam. Namun, bukankah masyarakat Indonesia hidup dengan keragaman patokan dan parameter. Keanekaragaman agama, budaya, dan etnis, kiranya akan membentuk penilaian yang berbeda menyangkut satu pokok soal seperti adegan-adegan di dalam film itu. Oleh karenanya, pada hemat saya, Islam harus diletakkan sebagai salah satu anasir saja dari keseluruhan norma yang hidup di tengah masyarakat. Islam tidak bisa dijadikan sebagai parameter tunggal untuk menilai sebuah karya film. Islam harus didudukkan secara setara dengan norma-norma lain. Islam mesti bertanding dan berkontestasi dengan norma-norma lain.
Sebab, dalam masyarakat yang pluralistik seperti Indonesia, larangan terhadap ketidaksopanan hanya bisa dilakukan sejauh melalui mekanisme yang demokratis, bukan semata-mata hasil pemaksaan dari satu kelompok agama atau segmen masyarakat tertentu saja. Tidak ada hegemoni dari satu komunitas atas komunitas yang lain. Setiap orang memiliki status yang setara di dalam berdiskusi menyangkut batas kesopanan itu. Diskusi adalah ruang untuk melakukan negosiasi dan tawar menawar mengenai perkara bermoral-tidak bermoral tersebut. Dari diskusi inilah diharapkan dapat dilahirkan sebuah kesepakatan dalam wujud regulasi mengenai pornografi dan bukan pornografi, pornoaksi dan bukan pornoaksi.
Regulasi pornografi
Sungguh, adegan ciuman di dalam film Buruan Cium Gue! tidaklah seberapa sekiranya diukur dari arus pornografi, pornoaksi, yang berlangsung secara gegantis di luar gedung bioskop. Betapa ruas-ruas jalan di kota-kota besar seperti Jakarta kini terus dihiasi dengan gambar-gambar perempuan dalam pose telanjang, baik di majalah maupun tabloid. Gambar-gambar itu bukan hanya menjadi konsumsi kalangan laki-laki dewasa, melainkan juga telah menjadi tontonan ABG, bahkan anak bawah usia. Buku-buku yang mendeskripsikan secara terang adegan-adegan ranjang demikian menjamur di kalangan para pelajar. Film-film biru dengan mudah dapat dijumpai dan diperoleh di pinggir-pinggir jalan dan trotoar Ibu Kota. Semenjak ditutupnya Kramat Tunggak Jakarta, para pekerja seks komersial (PSK) terus berhamburan ke jalanan. Sebuah pemandangan yang kian mengkhawatirkan.
Menghadapi fenomena tersebut, maka saya bisa bersetuju terhadap gagasan untuk melokalisasi gelombang pornografi tersebut. Artinya, pornografi, pornoaksi, dan aktivitas erotisme yang lain mesti ditampung dalam ruang khusus yang tersembunyi. Dengan ini, ada kegunaan ganda yang bisa dicapai. Bahwa di samping agar pornografi dan erotisme tidak diakses oleh orang-orang yang belum cukup umur, ia juga berguna supaya erotisme bisa benar-benar dinikmati sebagai tindakan privat yang menyenangkan. Sebab, erotisme adalah perkara yang tak dapat diekspose dan ditayangkan kepada semua orang dari pelbagai level umur dan pelbagai ruang. Maka, kehadiran sebuah regulasi yang mengatur menjadi sangat penting, karena dengan itulah pornografi, pornoaksi, dan erotisme menjadi lebih teratur dan nyaman untuk dirayakan.
Bahwa kebutuhan seseorang terhadap erotisme, itu perkara yang diakui. Sebagaimana orang butuh makan dan minum, mempunyai rasa aman dan kebebasan bergerak, orang juga butuh terhadap erotisme. Tidak ada seseorang yang seluruh detik kesehariannya diisi dengan doa. Selalu saja ada saat tertentu seseorang membutuhkan erotisme. Erotisme mesti digerakkan. Tapi menggerakkan erotisme secara liar di ruang-ruang publik, tanpa ada regulasi yang mengaturnya, kiranya akan menimbulkan petaka tersendiri. Oleh karena itu, kehadiran sebuah regulasi yang dalam proses penyusunannya mesti melibatkan partisipasi dan debat publik yang demokratis, bukan hanya perlu melainkan sungguh amat mendesak. ***
pornografi adalah jalan menuju neraka
Pandangan pornografi/pornoaksi berbeda setiap orangnya, dan kita patut menghargai pendapat mereka, tetapi jangan sampai ada tindakan kekerasan diantara keduanya sehingga ada salah satu hak asasi yang dilanggar. Karena hal ini sudah terlihat dari banyaknya perusakan-perusakan atau ancaman-ancaman yang di lontarakan khususnya pada orang-orang yang menolak adanya RUU APP. klo kita lihat apakah orang yang melakukan tindakan perusakan/ ancaman merupakan tindakan yang baik ataukah tindakan yang bermoral? Berdebatlah, berpendapatlah, tetapi ingat kita sebagai bangsa Indonesia yang harus menjunjung rasa cinta dan mencintai, harga merhargai. jangan sampai dengan adanya satu pendapat yang berbeda menimbulkan perpecahan dan permusuhan.
Sebenarnya RUU APP tidak perlu ada karena semua perangkat UU sebelumnya sudah bisa mengaturnya hanya tidak dipakai secara baik. Apalagi adat dan budaya ketimuran kita juga sudah ada sebagai pembatas hal-hal negatif dan positif. Jadi UU APP baru perlu kalau kita sudah tidak bisa menguasai diri lagi (dengan arti kata kita ini memang pikirannya geres melulu).
Preman boleh menjaga keamanan di Indonesia (contohnya di Ibukota), jadi Kepolisian RI boleh dibubarkan karena tidak berfungsi lagi. Sebenarnya kita salut kepada Kapolri Pak Sutanto atas hasil-hasil kerjanya selama ini tetapi mengapa citra Kepolisian yang baru membaik ini dirusak lagi dengan banyaknya kelompok-kelompok perusuh seperti FPI, FBR, dll. yang berusaha menggantikan tugas-tugas polisi.
Banyaknya kontroversi tentang RUU anti pornografi dan pornoaksi menimbulkan kesan bahwa sepertinya masyarakat Indonesia sudah jauh dari nilai-nilai dan norma2 ketimuran yang harus kita junjung tinggi. Seharusnya kita perlu mendukung sepenuhnya dan menyambut baik keluarnya UU anti pornografi dengan melihat kondisi sekarang ini yang banyak mengeksploitasi hal-hal yang berbau pornografi.
Keduanya sangat subyektif karena tidak ada batasan jelas mengenainya. Karena itu tidak sepantasnya dilarang secara berlebihan bila tidak mengganggu umum, misalnya seks terang2an di publik/melakukan hub. suami istri telanjang di depan umum ya itu memang keterlaluan sekali. Terus berantas tuh pelacuran dengan menaikkan taraf ekonomi rakyat. Menyetarakan kedudukan wanita dengan pria dalam masyarakat.
Harap juga diingat kalau pornografi dan tidak, itu tidak jelas. Mungkinkah relief Candi Borobudur yang menggambarkan persetubuhan itu dinamakan pornografi? Kita tega menamai Budaya bangsa kita itu dengan nama pornografi? Bagaimana dgn serat centini?
Lantas kalau semua dilarang, apakah menjamin tidak ada lagi perkosaan? Apakah di Arab dan Malaysia tidak pernah terjadi kriminalitas atau kekerasan seksual pada wanita?
BAB II
MASA TIGA KERAJAAN BESAR (1500-1800 m)


A. DINASTI FATHIMIYAH
A. 1. Sejarah Berdirinya
Dinasti Fathimiyah didirikan oleh al-Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah pada tahun 297 H./909 M. di negeri Maghrib (sekitar Maroko sekarang) dengan Qairawan sebagai ibu kota negaranya.
Dinasti ini dinisbahkan kepada Fatimah al-Zahra (putrid Nabi SAW, dan istri Ali Ibn Thalib rs). Pendiri dinasti Fatimah (Ubaid Allah al-Mahdi) mengaku sebagai keturunan Ali ra, dan Fatimah ra. Melalui garis Isma’il putra Ja’far al-Shadiq.
Ubaid Allah al-Mahdi berpindah dari Suriahh ke Afrika Utara karena propaganda Syi’ah didaerah ini mendpata sambutan baik, terutama dari suku Barber Ketama. Dengan dukungan suku Barber Ketama, Ubaid Allah al-Mahdi menumbangkan gubernur Aglabiah di Afrika, Rustamiyah Khariji di Tahart dan Idrisiyah Fez dijadikan sebagai bawahan.
Setelah kekuatan Aglabiah yang berpaham Sunni ditaklukan, maka Said dibai’at sebagai penguasa baru dengan laqab “Imam Ushaidullah al-Mahdi” dan menerima pengakuan sebagai keturunan Fatimah melalui Khusain dan Ismail. Oleh karena itu dinasti yang didirikan pada tahun 909 itu disebut Fatimah. Dinasti Fatimiah merupkana Khalifah terbesar yang pernah didirikan oleh Syi’ah.
Setelah wafat pada tahun 934 M, al-Mahdi digantikan oleh putranya, Abu al-Qasim dengan gelar al-Qa’im (323-335 H/ 934-949 M). al-Qaim berhasil menguasai benua dan calabarid, dan beliau waft pada tahun 949 M. al-Qaim wafat ketika berusaha menaklukkan Mesir yang dipimpin oleh Abu Yazid Makad (Kahawarij) dan beliau digantikan oleh putranya.
Al-Manshur (335-341 H), al-Manshur berhasil mengalahkan pasuykan Abu yazid Makad di Mesir. Setelah meninggal al-Manshur digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad (341-352 H/ 956-975 M) dengan gelar al-Muiz. Al-Muiz berhasil menaklukkan Maroko, Sisilia, Mesir hingga Fusthat (Kairo lama). Setelah meninggal al-Muiz digantikan oleh putranya yaitu al-Aziz (365 H/975 M) pada masa al-Aziz Fatimiyah mengalami puncak kemajuan.
Ketika Kondisi dalam negeri membaik ketika khalifah keempat, al-Muiz Lidinillah, naik tahta di akhir tahun 341 H./953 M.
Seluruh suku bangsa Barbar yang sebelumnya membangkang dapat “dijinakkan” saat itu, kemudian Bani Idrisiyah yang memberontak dan ingin melepaskan diri dapat juga ditaklukkan.
Keberhasilan dari sisi internal ini ternyata menjadikan kekuasaan Daulah Fathimiyah meluas, membentang dari barat Tripoli (Libiya sekarang) disebelah timur sampai Samudera Atlantik di sebelah barat.
Ketika itulah keinginan untuk menguasai Mesir kembali muncul. Keinginan ini juga diperkuat dengan beberapa alasan-alasan baru, diantaranya:
a) Meninggalnya Kafur al-Ikhsyidi tahun 357 H./968 M. yang merupakan wali Mesir sejak dua tahun sebelumnya.
b) Terjadinya krisis ekonomi di Mesir. Berkali-kali terjadi banjir di Mesir selama kurun sembilan tahun yang menyebabkan lahan pertanian menjadi sempit dan otomatis harga bahan pangan menjadi mahal serta diikuti dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok lainnya sehingga terjadilah bencana kelaparan di Mesir dan menyebarnya wabah penyakit di kalangan penduduk Mesir.
c) Kekacauan di bidang ekonomi ini merembes ke bidang militer, dimana terjadi perpecahan antara pemimpin-pemimpin militer negara. Situasi ini menambah kemarahan publik terhadap penguasa saat itu berlipat ganda.
d) Sekelompok golongan ekstrim Syi’ah yang disebut Qaramithah terus berusaha mengerogoti kawasan timur Mesir, dan kebetulan sekali beberapa anggota kelompok ini memiliki hubungan baik dengan Dinsti Fathimiyah.

A. 2. Perkembangan Sosial Politik
Pengolahan Negara yang dilakukan dinasi Fatimiyah dengan mengangkat para menteri. Dinasti Fatimyah membagi kementrian menjadi dua kelompok:
• Pertama; kelompok militer yang terdiri atas tiga jabatan pokok.
1. Pejabat tinggi militer dan pengawal khalifah
2. Pejabat keamanan
3. Resimen-resimen
• Kedua; kelompok sipil yang terdiri atas:
1. Qadhi (hakim dan direktur percetakan uang)
2. Ketua dakwah yang memimpin dar al-Hikam (pengajian)
3. Inspektur pasar (pengawasan pasar, jalan, timbangan dan takaran)
4. Bendahara Negara (mengani Bayt al-Mal)
5. Kepala urusan rumah tangga raja.
6. Sekretaris berbagai departemen.
Selain pejabat pusat, disetiap daerah terdapat setingkat gubernur yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola daerahnya masing-masing. Administrasi pemerinthan dikelola ole pejabat setempat.
Secara geografis, wilayah dinasti Fatimiyah sangat luas yang membentang dari Yaman sampai laut Atlantik, Asia kecil dan Mosul. Namun demikian, Fatimiyah dapat mengatur negaranya dengan baik. Administrasi pemerinthan dirancang oleh penasehat kahlifah, Ya’kub bin Illis, seoarng Yahudi Baghdad yang telah masuk Islam. Panduan bagi calon pejabat pemerintahan disusun oleh seorang probumi Mesir, Qalqshandi. Panduan ini berisi pedoman ringkasan administrasi dan militer dinasti Fatimiyah. Di Mesir sendiri era Fatimiyah berlangsung selama kurang lebih dua abad dan merupakan zaman kemakmuran, Mesir dapat dikatakan hamper tidak mengalami kerusuhan yang merongrong kehidupan sehari-hari seperti di Irak dan Suriah. Perdagangan berkembang dan didorong oleh pemerintah dan perdagangan terjadi secara efektif ke segala arah, ke India melalui laut merah, ke Italia dan laut tengah, kadang-kadang ke kerajaan Bizantium.
Kondisi politik dunia Islam ketika Dinasti Fatimiah didirikan agak sedikit tidak terkendali, hal ini bisa di lihat dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil di berbagai belahan dunia baik di timur dan barat Baghdad. Dinataranya Dinasti Tahiri (200 H-259 H / 820 M-872 M), Dinasti Safari (254 H-289 H / 867 M-903 M), Dinasti Samani (261 H-389 H / 874 M-999 M), Dinasti Ghazwani, di barat Baghdad ada Dinasti Idrisi di Maroko (172 H-375 H / 788 M-985 M), Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-908 M), Dinasti Thulun di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M), Dinasti Ikhsyidi (323 H- 357 H / 934 M-967 M), Dinasti Hamdaniah (317 H – 399 H / 929 M – 1009 M).
A. 3. Perkembangan Intelektual dan Pendidikan
Ketika al-Mu’iz berhasil menguasai Mesir, ditempat ini berkembang empat madzhab Fiqh: Malik, Hanafi, Syafi’I dan Hanbali. Sedangkan al-Mu’iz menganut faham Syi’ah. Oleh karena itu, al-Mu’iz mengayomi dua kenyataan ini dengan mengankat hakim dari kalangan Sunni dan hakim dari kalanagan Syi’ah, dan Sunni hany menduduki jabatan-jabatan yang rendah. Pada tahun 379 M, semua jabatan diberbagai bidang politik, agama dan militer dipegang oleh Syi’ah. Oleh karena itu sebagian pejabat Fatimiyah yang Sunni beralih ke Syi’ah supaya jabatannya meningkat.
Disisi lain, al-Mu’iz membangun toleransi beragama sehingga pemeluk agama lain, seperti Kristen, diperlakukan dengan baik dan di anatara mereka diangkat menjadi pejabat 1)tang.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, dinasti Fatimiyah memilki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Pada masa kekuasan al-aziz, istana khalifah selain sebagai tempat urusan pada pemerintahan juga berfungsi sebagai pusat kajian ilmiah, tempat berkumpulnya para Fuqaha, nuhat, ahli hadits dan para pejabat Negara yang lain dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Fatimiyah membangun masjid al-Azhar yang di dalamnya terdapat kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga berdirilah Jami’at (Universitas) al-Azhar, salah satu perguruan Islam tertua yang dibanggakan oleh ulama Sunni.
Al-Hakim berhasil mendirikan Dar al-Hikmah, perguruan (akademi) Islam yang sejajar dengan lembaga pendidikan di Cordova dan Baghdad. Perpustkaan Dar al-Ulum digabungkan dengan Dar al-Hikmah yang berisi berbagai buku ilmu pengetahuan. Sehingga melahirkan sejumlah ulama pada masa ini muncul sejumlah ulama sebagai berikut:
1. Muhammad al-Tamimi (ahli Fisika dan Kedokteran)
2. Al-Kindi (ahli Sejarah dan Filsafat)
3. Al-Nu’man (ahli Hukum dan menjabat sebagai Hakim)
4. Ali Ibn Yunus (ahli Astronomi)
5. Ali al-hasan Ibn al-Khaitami (ahli Fisika dan Optik).
B. KERAJAAN SAFAWI DI PERSIA
Safawi adalah sebuah nama kerajaan Islam di Persia yang memerintah tahun 1501 – 1722, yang berhasil memajukan dunia Islam kembali dari kemunduran, kendatipun tidak setara dengan kemajuan yang dicapai oleh kerajaan Umawiyah di spanyol dan Abbasiyah di Baghdad, khusus di bidang ilmu pengetahuan. Ia memberi ciri nasionalisme kepada bangsa Iran dengan identitas baru, yaitu aliran Syi'ah yang menjadi landasan bagi perkembangan nasionalisme Iran abad modern.
Ketika kerajaan Usmani sudah mencapai puncak kemajuannya, kerajaan Safawi di Persia baru berdiri. Kerajaan ini berkembang dengan cepat. Dalam perkembangannya kerajaan Safawi sering bentrok dengan Turki Usmani.
Kerajaan Safawi menyatakan Syi’ah sebagai mazhab Negara, oleh karena itu kerajaan ini dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya neagara Iran.
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ar-Dabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah. Nama safawiyah diambil dari nama pendirinya, Safi al-Din (1252-1334 M). safi al-Din adalah keturunan Musa al-Kazim, imam ke tujuh syi’ah itsna ‘Asyariah. Tarekat ini mengubah gerakan dari gerakan keagamaan menjadi gerakan politik. Gerakan politik yang pertama adalah menaklukkan Anatolia.
Di negeri-negeri di luar Ardabil, Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya dan wakil itu diberi nama khalifah. Khalifah pertama pada kerajaan Safawiyah adalah Ismail Ibn Hardar dan Ismail Ibn Hardar mengklaim dirinya sebagai titisan para Imam Syi’ah, penjelmaan Tuhan, sinar ketuhanan dari Imam yang bersembunyi dan Imam Mahdi.
B. 1. Kemajuan pada masa kerajaan Safawi
Pada bidang ekonomi kerajaan Safawi yang dipimpin oleh Abbas I berhasil mengembangkan perekonomian Safawi. Setelah menguasai kepulaluan Hurmuz dan pelabuhan Biumrun yang diubah oleh Raja Abbas I menjadi Bandar Abbas. Selain disektor perdagangan banyak sector-sektor yang mengalami kemajuan, salah satunya adalah sektoir pertanian di daerah bulan sabit subur.
Pada bidang ilmu pengetahuan Persia dikenal Negara yang beradaban tinggi dan banyak mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada zaman itu banyak ilmuan yang muncul dari kerajaan Safawi tetapi hanya tiga orang yang paling dikemnal oleh masyarakat yaitu:
 Baha’ al-Din al-‘Amali sebagai generalis ilmu pengetahuan.
 Sadr al-Din al-Syirazi sebagai filosof yang dikenal juga dengan nama Mulla Shadra.
 Muhammad Bagir Ibn Muhammad Damad sebagai filosof, ahli sejarah dan teologi. Ia juga pernah meneliti tentang kehidupan para lebah.
Dibidang pembangunan fisik pada masa kerajaan Safawi, telah berhasil menciptakan ibu kota kerajaan Isfahan menjadi kota yang paling rendah, dan berhasil membangun masjid-masjid, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah dan jembatan raksasa.
Kemajuan kerajaan safawi sudah dimulai sejak Syah Abbas yang Agung (1587 – 1629), Syah kelima dari kerajaan Safawi, baik di bidang politik, militer maupun ekonomi dan pembangunan, kecuali di bidang sains, teknologi, hukum dan filsafat yang kurang maju..
B. 2. Kehancuran Kerajaan Safawi
Penyebab dari hancurnya kerajaan Sfawi adlah konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Konflik ini berlangsung sangat lama, penyebab lain dari runtuhnya kerajaan Safawi ialah dekadensi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaan. Banyak pemimpin kerajaan yang hanya bersenag-senang secara duniawi dan tidak pernah memikirkan pemerintahannya dan sering juga konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.
Menjelang kehancurannya, kerajaan Safawi secara formal diperintah oleh empat orang Syah, yaitu Syah dari Safi Mirza (1629 – 1667 M), Syah Sulaiman (1667 – 1694 M), Syah Husain (1694 – 1722 M) sebagai raja terakhir. Dari keempat raja tersebut yang berhasil menahan kemerosotan kerajaan hanya Syah Abbas II, sedangkan ketiga Syah lainnya tidak berdaya

C. KERAJAAN MUGHAL DI INDIA
C. 1. Asal-usul Dinasti Mughal
Kerajaan Mughal merupakan salah satu warisan peradaban Islam di India. Keberadaan kerajaan ini telah menjadi motivasi kebangkitan baru bagi peradaban tua di anak benua India yang nyaris tenggelam. Sebagaimana diketahui, India adalah suatu wilayah tempat tumbuh dan berkembangnya peradaban Hindu. Dengan hadirnya Kerajaan Mughal, maka kejayaan India dengan peradaban Hindunya yang nyaris tenggelam, kembali muncul.
Kerjaan Mughal merupakan salah satu dari masa tiga kerajaan besar pada 1500-1800 M, yakni Kerjaan Usmani, Kerajaan Safawi di Persia dan Kerjaan Mughal di India. kerajaan ini berdiri pada sperempat abad sesudah berdirinya kerajaan Safawi, di antara tiga kerajaan besar Islam tersebut, kerjaan inilah yang termuda. Kerajaan Mughal didirikan oleh Zahirudin Babur (1482-1530 M) asalah satu cucu dari Timurlenk, ia mewarisi daerah ferghana dari orang tuanya ketika ia masih verusia 11 tahun. Ia berhasil menaklukkan kota Samarkhand berkat bantuan dari raja Safawi, Ismail I pada tahun 1494 M serta menduduki Kabul ibu kota Afghanistan pada tahun 1504 M.
Awal berdirinya kerajan Mughal di India, setelah Babur menaklukkan Kabul kemudian ia melanjutkan ekspansinya ke India. Ketika itu yang menjadi penguasa India adalah Ibrahim lodi yang mana sedang diladang krisis sehingga stabilitas pemerinthan menjadi kacau. Alam khan (pamannya) Daulat khan, gubernur Lahore mengirim utusan ke Kabul dengan tujuan untuk meminta bantuan Babur untuk menjatuhkan pemerinthan Ibrahim di delhi. Ternyat Babur berhasil menguasai Punjab sebagai ibu kota Lahore tahun 1525 M. pada tanggal 21 April 1526 M terjadilah pertempuran antara Ibrahim beserta tentaranya dan berhasil terbunuh dalam pertempuran. Akhirnya Babur sebagai pemenangnya dan memerintahkan kota Delhi.
C. 2. Perkembangan dan Kemajuannya
Setelah kerajaan Mughal berdir, raja-raja Hindu di India menyerang Babur namun Babur berhasil menglahkan mereka, hingga Sultan Mahmud Lodi (adik kandung Ibrahim) juga demikian dikalahkan oleh babur pada tahun 1529 M.
Pada tahun 1530 M Babur meninggal dunia pada usia 48 tahun, setelah memerintah selama 30 tahun dengan meninggalkan kerajaan-kerajaan yang cemerlang. Pemerintahan selanjutnya dipegang oleh anaknya Humayyun, putera sulung Babur. Sepanjang masa pemerinthannya selalu mengalami peperangan (1530-1539 M) yakni di antaranya pemberontakan oleh:
1. Bahadur Syah; penguasa Gujarat yang memisahkan diri dari Delhi
2. Sher khan di Kanauj; dalam pertempuran ini Humayyun mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Kandahar dan Persia. Namun setelah di Persia ia berhasil menyusun kembali pasukannya hingga dapat mengalahkan Sher khan shah. Setelah 15 tahun meninggalkan Delhi pada tahun 1555 M Humayyun mendusuki kerajaan Mughal kembali. Pada tahun 1556 M ia meninggal dunia karena terjatuh dari tangga perpustakaannya Din Panah. Namun menurut ia terjatuh dari tangga istananya.
Humayyun digantikan oleh anaknya Akbar yang berusia 14 tahun, dengan umurnya yang cukup muda, maka urusan kerajannya diserahkan pada Bairam Khan (Orang Syi’i). pada masa Ajbar inilah kerajaan Mughal mencapai msa keemasannya.
Di awal masa pemerintahannya, Akbar menghadapi pemberotakan sisa-sisa keturunan Sher Khan Shah yang masih berkuasa di Punjab. Pemberontakan yang mengancam keusaan Akbar adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Himu yang menguasai Gwalior dan Agra. Pemberontkan itu berusaha memasuki kota Delhi. Bairam Khan menyambut kedatangan pasukana tersebut sehingga terjadilah peperangan dasyat yang disebut Panipat II pada tahun 1556 M. Himu dapat diklahkan. Ia ditangkap kemudian dieksekusi. Dengan demikian, Agra dan Gwalior dapat dikuasai penuh.
Setelah Akbar dewasa ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai pengaruh kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran Syi’ah. Bairam Khan memberontak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M. setelah persoalan-persoalan dalam negeri dapata diatasi, Akbar mulai menususn program ekspansi. Ia berhasil menguasai Chundar, Ghond, Chitor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Surat, Bihar, Bengal, Kashmir, Orissa, Deccan, Gawilgarh, Narhala, Ahmadnagar dan Asirgah. Seluruh wilayah tersebut diperintah dalam suat pemerintahan militeristik.
Dalam pemerinthan militeristik tersebut, Sultan adalah penguasa dictator, pemerintahan daerah dipegang oleh seorang sipah salar (kepala komandan), sedang sub-distrik dipegang oleh Faujdar (komandan). Jabatan-jabatan sipil juga diberi jenjang kepangkatan yang bercorak kemiliteran.
Akbar juga menerapkan apa yang dinamakan dengan politik sulakhul (toleransi universal). Dengan politik ini, semua rakyat India dipandang sama. Mereka tidak dibedakan karena perbedaan etnis dan agama.
Kemajuan yang dicapai Akbar masih dapat dipertahankan oleh tiga sultan berikutnya, yaitu Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M) dan Aurangzeb (1658- 1707 M). kemajuan-kemajuan tersebut mencakup:
1. Bidang politik
Pemerinthan Mughal tetap kokoh yang didukung oleh system militeristik dalam mempertahankan wilayahnya.
2. Bidang ekonomi
Kerajaan Mughal dapat mengembangkan program pertanian, pertambangan dan perdagangan. Akan tetapi sumber keuangan Negara lebih banyak bertumpu pada sector pertanian. Disektor pertanian ini komunikasi anatara pemerintah dan petani diatur dengan baik. Pengaturan itu didasarkan atas lahan pertanian. Deh merupakan unit lahan pertanian terkecil, beberapa deh tergabung dalam pergana (desa). Komunitas petani dipimpin oleh seorang mukaddam. Melalui para mukaddam itulah pemerintah berhubungan dengan petani. Untuk meningkatkan produksi, pada masa Jihangir mengizinkan Inggris (1611) dan Belanda (1617) mendirikan pabrik pengolahan pertanian di Surat. Hasil pertanian tersebut adalah biji-bijian, padi, kacang, tebu, sayur-sayuran, rempah-rempah, tembakau, kapas, nila dan bahan celupan.
3. Bidang Seni dan Arsitektur
Bersamaan dengan majunya bidang ekonomi, bidang seni dsan budaya juga berkembang. Karya seni yang menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang berbahasa Persia maupun berbahsa India. Penyair India yang terkenal adlh Malik Muhammad Jayzi, seorang sastrawan sufi yang menghasilkan karya besar bewrjudul Padmavt, sebuah karya alegoris yang mengandsung pesan kebajikan jiwa manusia. Pda msa Aurngzeb, muncul seorang sejarawan bernam Abu Fadl dengan karyanya Akhbar Nama dan Aini Akhbari, yang memaprkan sejarah kerajaan Mughal berdasarkan figure pemimpinnya.
Karya seni yang msih dpt dinikmati sekarang merupakn karya seni terbesar yang dicapi kerajaan Mugahl adlah karya-larya arsitektur yang indah dan mengagumkan. Pada mas Akbar dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, villa dan masjid-masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra, Masjid Rya Delhi dan istana indah di Lahore. C. Kemajuan yang dicapai Kerajaan Mughal.
C. 3. Kemunduran dan keruntuhan kerajaan mughal
Kerajaan Mughal mencapai puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Akbar (1556-1605). Generasi sesudah Akbar yaitu Jahangir (1605-1627), Shah Jahan (1627-1658), Aurangzeb (1658-1707) masih dapat mempertahankan kemajuan tersebut. Namun Raja-raja pengganti Aurangzeb merupakan penguasa yang lemah sehingga tidak mampu mengatasi kemerosotan politik dalam negeri.
Tanda-tanda kemunduran sudah terlihat dengan indikator sebagaimana berikut:
1. Internal; Tampilnya sejumlah penguasa lemah, terjadinya perebutan kekuasaan, dan lemahnya kontrol pemerintahan pusat.
2. Eksternal; Terjadinya pemberontakan di mana-mana, seperti pemberontakan kaum Sikh di Utara, gerakan separatis Hindu di India tengah, kaum muslimin sendiri di Timur, dan yang terberat adalah invasi Inggris melalui EIC.
Dominasi Inggris diduga sebagai faktor pendorong kehancuran Mughal. Pada waktu itu EIC mengalami kerugian. Untuk menutupi kerugian dan sekaligus memenuhi kebutuhan istana, EIC mengadakan pungutan yang tinggi terhadap rakyat secara ketat dan cenderung kasar. Karena rakyat merasa ditekan, maka mereka, baik yang beragama Hindu maupun Islam bangkit mengadakan pemberontakan.
Mereka meminta kepada Bahadur Syah untuk menjadi lambang perlawanan itu dalam rangka me¬ngembalikan kekuasaan kerajaan. Dengan demikian, terjadilah perlawanan rakyat India terhadap kekuatan Inggris pada bulan Mei 1857 M. Perlawanan mereka dapat dipatahkan dengan mudah. Inggris kemudian menjatuhkan hukuman yang kejam terhadap para pemberontak. Mereka diusir dari kota Delhi, rumah-¬rumah ibadah banyak yang dihancurkan, dan Bahadur Syah, raja Mughal terakhir, diusir dari istana (1858 M). Dengan demikian berakhirlah sejarah kekuasaan dinasti Mughal di daratan India.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal mundur dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M yaitu:
1. Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim Mughal.
2. Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite politik, yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
3. Pendekatan Aurangzeb yang terlampau "kasar" dalam melak¬sanakan ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antaragama sangat sukar diatasi oleh sultan¬-sultan sesudahnya.
4. Semua pewaris tahta kerajaan pada paro terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.



BAB III
KESIMPULAN
Kekhalifahan Fathimiyyah pada gilirannya berdiri dan bersandingan dengan kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad, juga kekhalifahan Marwaniyyah-Umayyah di Andalus (Spanyol-Portugal). Ketiga kekhalifahan Islam ini tercatat sebagai kekhalifahan yang berdiri di masa kejayaan peradaban Islam.
Masa ketika Dinasti Fatimiah berkuasa merupakan masa ditengah pesatnya berkembang berbagai aliran Kebathinan, Syiah dan Muktazilah, maka tidak heran jika saat itu umat Islam terpecah belah dan dengan beraninya membuat daulah sendiri menurut pemikiran yang mereka yakini. Akhirnya setelah melewati beberapa pergolakan antara penguasa satu dan lainnya salah satunya dengan cara berperang. Adakal kemajuan dan kemunduranlah yang pasti dialaminya, maka dilanjutkan dengan dinasti safawiyah.
Safawi adalah sebuah nama kerajaan Islam di Persia yang memerintah tahun 1501 – 1722, yang berhasil memajukan dunia Islam kembali dari kemunduran, kendatipun tidak setara dengan kemajuan yang dicapai oleh kerajaan Umawiyah di spanyol dan Abbasiyah di Baghdad, khusus di bidang ilmu pengetahuan. Ia memberi ciri nasionalisme kepada bangsa Iran dengan identitas baru, yaitu aliran Syi'ah yang menjadi landasan bagi perkembangan nasionalisme Iran abad modern.
Kerajaan Mughal merupakan salah satu warisan peradaban Islam di India. Keberadaan kerajaan ini telah menjadi motivasi kebangkitan baru bagi peradaban tua di anak benua India yang nyaris tenggelam. Sebagaimana diketahui, India adalah suatu wilayah tempat tumbuh dan berkembangnya peradaban Hindu. Dengan hadirnya Kerajaan Mughal, maka kejayaan India dengan peradaban Hindunya yang nyaris tenggelam, kembali muncul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar